Pentingnya Pendidikan Anti Korupsi dalam Pendidikan Agama

Oleh Irham Yuwanamu dan Sansan Ziaul Haq

Korupsi  di  Indonesia  ibarat  kanker  moral  yang  akut  dan  kronis.    Praktik  korupsi menggerogoti banyak lembaga, baik pemerintah ataupun masyarakat, dan terjadi hampir di semua sektor, dari mulai politik, bisnis-ekonomi, sampai pendidikan. Terlebih dari pada itu, lembaga-lembaga  penegak hukum Negara yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam upaya  pemberantasan  praktik  rasuah  ini  malah  dalam  beberapa  kasus  ikut  terseret  dalam pusaran  badai  korupsi  tersebut.

Tak  mengherankan,  dari  tahun  ke  tahun,  kasus  korupsi bukannya semakin menurun, namun justru semakin meningkat. Realita ini berimbas secara signifikan pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara kita yang masih buruk.Corruption  Perceptions  Index  2021yang  diterbitkan  oleh  Transpareny  International menunjukkan posisi Indonesia berada pada ranking 96 dengan skor 38 dari total 189 negara yang dinilai ini sedikit membaik dari ranking Indonesia tahun sebelumnya, yakni 102 dengan skor  37.  

Dengan  skor  terbarunya,  tingkat  persepsi  korupsi  Indonesia  selevel  dengan beberapa  negara  seperti  Argentina,  Brazil,  Serbia,  dan  Turki.  Namun,  skor  tersebut  masih jauh  di  bawah  rata-rata  indeks  persepsi  korupsi  global,  yaitu  43,  dan  sayangnya  posisi Indonesia  ini  masih  terpaut  jauh  dari  beberapa  negara  tetangga  seperti  Singapura  yang bertempat  di rangking ke-4 dengan skor 85, dan Malaysia di posisi ke-62 dengan nilai 48.2Data ini secara terang menunjukkan bahwa budaya korupsi di negara ini masih menjamur secara  ‘kolosal’,  sehingga  perang  total  melawannya  yang  telah  digencarkan  sejak  era reformasi masih belum usai.

Terkait perangkingan di atas, dalam perayaan Hari Anti Korupsi pada 9 Desember lalu, Wakil  Ketua  KPK  Alexander  Marwata  menilai  bahwa  selama  tujuh  tahun  masa  kerjanya  di lembaga  lembaga  anti  rasuah  tersebut,  pihanya  menilai  masih  gagal  dalam  memberantas korupsi  di  tanah  air.  Alexander  lebih  lanjut  menyesalkan,  para  koruptor  yang  tertangkap basah kerap menganggap dirinya sedang ‘apes’ saja dan mengakui bahwa banyak juga yang melakukan kejahatan yang sama, namun tidak tertangkap karena lebih rapih. Bahkan, tutur Alexander,  mereka  yang  tertangkap  tak  pernah  menganggap  korupsi  sebagai  tindakan kejahatan  yang  luar  biasa.

Gambaran  ini  menunjukkan  terkikisnya  standar  moral  pada sebagian   besar   pelaku   tindakan   korupsi,   sehingga   alih-alih   mengaku   bersalah,   malah mencari-cari justifikasi moral bagi tindakan kotornya sebagai hal yang lumrah dilakukan.

Oleh karena itu, kajian  ini  berupaya  mengintegrasikan  pendidikan  antikorupsi  dengan  perspektif  Islam. Penelitian  ini  menggunakan  metode  tematik-analitis  yang  sumber utamanya  adalah  Al-Quran  yang ditafsirkan  dari  berbagai  tafsir.  

Temuannya  menunjukkan  bahwa  secara  substansi  Al-Qur'an  telah mengajarkan  kita  untuk  tidak  melakukan  korupsi.  Frasa  yang  terdapat  dalam  Al-Qur’an  yang maknanya sepadan dengan korupsi adalah ‘memakan harta orang lain secara melawan hukum’ (akl amwal  al-nas  bi-al-batil),‘makan secara ilegal’ (akl  al-suht),dan  menyuap  hakim (al-idla'  ila-al-hukkam).

Kajian ini lebih jauh menunjukkan bahwa korupsi masuk dalam kategori perampasan hak orang lain secara melawan hukum, sedangkan suap merupakan salah satu pintu terjadinya perbuatan tidak adil tersebut.

Oleh karena itu, korupsi merupakan dosa besar yang mempunyai akibat serius di kemudian  hari.  Temuan  penelitian  ini  dapat  berkontribusi  terhadap  pengembangan  pendidikan antikorupsi dalam perspektif Islam.

Artikel selengkapnya klik di sini. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.