Hidangan, Cinta dan Al Quran: Suguhan Pendidikan
Oleh: Akmal Rizki Gunawan, dosen Unisma Bekasi.
Al-Qur’an bagi umat Islam dibaca, dihapal dan dikaji. Al-Qur’an pula kitab suci dengan bahasanya yang kaya makna dan beragam tafsiran. Semakin didekati ia akan melahirkan banyak makna. Zaman boleh saja berkembang, ia pun tak pernah usang dari peradaban, karena kandungannya selalu mengukir peradaban bagi manusia.
Al-Qur’an diibaratkan jamuan makanan, di dalamnya berbagai macam hidangan. Bayangkanlah jika di sebuah pesta dengan berbagai hidangan, ada yang memilih menikmati soto, ayam, daging, tempe dan lain lain. Pada Qur’an pun menawarkan hidangan tentang iman, sosial, budaya, politik dan lainnya. Dengan berbagai hidangan Qur’an itu, selera manusia mengambilnya pun berbeda-beda.
Maka tak heran, umat Islam mengambil hidangan dari Qur’an berbeda-beda pula, ada yang senang dengan jihad, cinta kasih dan toleransi, ibadah-dzikir dan lainnya. Dasar itulah setiap yang menikmati hidangan makanan tadi, mereka pasti punya komentar dan kesan rasa soto atau ayam yang berbeda-beda. Persoalan yang sama tentang pemahaman/memaknai al-Qur’an sebagai hidangan.
Faried Esack dalam bukunya (The Qur’an: A Short Introduction) ia menggambarkan orang yang memahami Qur’an seperti orang mencintai. Pertama, pecinta tak kritis (the uncritical lover), yaitu orang yang hanya terpesona dengan keelokan dan keanggungan sang kekasih. Jika orang begitu cinta dan terpesona, agaknya tak ada ruang bagi akal dan hatinya untuk mengkritik yang dicintainya.
Jika dikaitkan pada al-Qur’an, orang yang hanya memahami Qur’an sebagaimana adanya teks/lafal Qur’an yang diterima Nabi saw berabad abad yang lalu, ia hanya terpesona dengan kata Qur’an perangilah orang-orang kafir, tak merenungi dan mengkritisi dalam situasi apa orang kafir harus di perangi, dengan alasan al-Qur’an memerintahkan memerangi orang kafir.
Sama halnya, karena kecintaannya pada kiainya, organisasi keagamaannya maka dalil agama yaang digunakan kiai dan organisasi keagamaannya selalu diterima bagaimana adanya, bahkan yang lain salah, karena akalnya lemah tak berdaya untuk bertanya dan mengkritik.
Kedua, pecinta kritis (the critical lover) ia mencintai kekasih, namun ia sadar cintanya tak akan membuat cinta buta, ia akan menggunakan nalarnya jika yang ia cintai dianggap kurang tepat. Jika ditarik pada orang yang beragama, lafal al-Qur’an tidak dipahami begitu saja, tapi ia sadar lafal al-Qur’an yang diterima Nabi saw di masanya, tentu spirit dan maknanya akan berbeda dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, sehingga al-Qur’an selalu hadir tidak hanya seperti masa Nabi melainkan hari ini dan esok itulah shalih likulli zaman wal makan.
Di sini al Quran menyuguhkan makna pendidikan yang perlu terus dijalankan dan dikembangkan oleh manusia. Pendidikan yang mesti terus dijalanlankan adalah pendidikan yang berupaya memahami makna al Quran secara mendalam sampai pada hakikat, menumbuhkan rasa cinta dan kedamaian. Maka dengan ini para pencinta al Quran tidak hanya mengerti lafalnya saja akan tetapi mengerti makna yang terkandungnya dan akhirnya menjadi ummat yang maju dan berakhlak mulia yang bisa membangun peradaban yang terus berkembang. Orang yang cinta Al Quran akan mampu membawa peradaban rahmatan lilalamin.
Tidak ada komentar