MERGER KAMPUS : PERLUKAH INI TERJADI DI PERGURUAN TINGGI ?
Oleh Khairul
Azan, dosen STAIN Bengkalis
& Ketua DPD GAMa Riau Kabupaten Bengkalis.
Perguruan
tinggi merupakan unsur fundamental dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Kehadiran
perguruan tinggi (PT) diharapkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia menuju bangsa yang
maju di bidang pemikiran dan keahlian (skill) tentunya
akan berkontribusi dalam akselerasi pembangunan bangsa yang bermartabat.
Berbicara perguruan
tinggi menjadi sesautu yang hangat untuk didiskusikan, terlebih lagi dengan
adanya informasi baik yang diberitakan lewat media televisi, cetak maupun media
elektronik terkait permasalahan di perguruan tinggi seperti temuan unsur plagiat
dan sekarang pemberitaan tentang wacana Menristek Dikti tentang penggabungan (merger) bagi perguruan tinggi yang
jumlah mahasiswanya kurang dari 1.000 (seribu) orang seperti yang diberitakan antaranews.com pada hari Senin, 4 September 2017. Informasi ini di satu
sisi menjadi angin segar bagi percepatan mutu pendidikan di Indonesia. Namun
di sisi lain tidak dipungkiri bahwa wacana tersebut juga menjadi permasalahan
besar bagi perguruan tinggi yang berada pada kategori yang dimaksud.
Meskipun masih sebatas
wacana tentunya kita harus menyikapi secara seksama karena sebuah wacana
merupakan cikal bakal lahirnya sebuah kebijakan. Kebijakan yang diambil harus
bisa mengentaskan permasalahan yang ada serta bermanfaat untuk semua kalangan.
Kebijakan yang dirumuskan berasal dari analisa secara komprehensif dan memakan
waktu lama. Sehingga bisa dikatakan kebijakan negara bukanlah produk dari hasil
renungan satu dua hari. Layaknya seekor ikan yang memiliki banyak tulang. Tulang
tersebut dianalogikan sebagai komponen-komponen yang mempengaruhi struktur
bangunan pendidikan di Indonesia. Sehingga ketika terjadi permasahalan tidak
langsung serta-merta lahir kebijakan yang hanya berdasarkan pada pertimbangan
satu komponen saja melainkan melalui analisa komponen lainnya. Begitulah proses
dalam merumuskan kebijakan. Sehingga jangan sampai terjadi seperti pepatah
mengatakan “gara-gara tinta setitik rusak air sebelanga”.
Beranjak dari isu yang
berkembang seperti yang dijelaskan di atas tentang wacana kebijakan Menristek
Dikti (Mohamad Nasir) yang mengatakan bahwa bagi peguruan tinggi (PT) yang
jumlah mahasiwanya kurang dari seribu orang harus di merger dengan perguruan tinggi lainnya dan ditargetkan 2019 sudah
berlaku dengan jumlah 1.000 PT. Wacana ini bertujuan agar PT menjadi sehat,
karena sebagian besar kampus kecil itu tidak sehat keuangannya. Beliau juga memberikan
contoh PT di bawah naungan Muhammadiyah cukup banyak, namun ternyata tidak satu Yayasan. Lebih lanjut
menurut Direktur Jenderal Kelembagaan Kemenristekdikti, Patdono Suwijo
menyatakan di Indonesia terdapat 4.529 PT yang terdiri dari 70 persennya adalah
perguruan tinggi kecil. Sehingga dikatakan akibat banyaknya perguruan tinggi
kecil berdampak pada angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi hanya 45
persen. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Tiongkok, dengan jumlah
penduduknya 1,4 milliar jiwa namun jumlah perguruan tingginya hanya sebanyak
2.824 dan APKnya lebih tinggi dari Indonesia. Begitu juga dengan Malaysia, dan
Singapura (antaranews.com).
Berdasarkan penjelasan
di atas dapat dipahami secara implementatif wacana ini bisa saja terjadi ketika
kebijakan merger tersebut hanya
berlaku pada PT dalam naungan Yayasan yang sama. Sehingga prinsip efisiensi
barangkali bisa diwujudkan karena pengelolaan keuangannya sudah satu payung.
Namun ketika itu diterapkan pada PT yang secara Yayasan berbeda, ini akan
menjadi permasalahan besar ketika tidak adanya kerjasama yang baik antar
Yayasan. Karena berdirinya PT baru tidak sepenuhnya hanya didasari pada tujuan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa semata namun saat ini kehadiran PT juga
sudah mengarah pada komersialisasi dan politisasi di sektor pendidikan.
Di samping itu permasalahan lain yang juga akan muncul yang perlu
dipertimbangkan terkait sengketa aset PT akibat merger yang berlaku.
Lebih lanjut jika
berbicara APK Indonesia masih jauh bila dibandingkan dengan negara lain seperti
Tiongkok, Malaysia dan Singapura menurut penulis ini kurang mendukung. Kerena
jika dibandingkan antara Indonesia dengan Tiongkok, Malaysia dan Singapura
jelas ada perbedaan yang signifikan baik dari tingkat ekonomi dan kondisi geografis.
Sehingga kedua faktor tersebut juga menjadi alasan utama mengapa APK kita masih
rendah. Di samping itu faktor lain kenapa APK kita masih rendah juga disebabkan
oleh minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya pendidikan
bagi kehidupan manusia serta mutu lulusan yang tidak sesuai dengan tuntutan
lapangan pekerjaan yang disebabkan kurikulum PT yang tidak relevan dengan
kebutuhan, sehingga berakibat pada menurunya minat masyarakat untuk melanjutkan
pendidikan.
Dengan demikian
sebetulnya kalau ditinjau dari sektor ekonomi dan geografis kehadiran PT kecil
khususnya di daerah justru membantu dan memberikan ruang kepada masyarakat
untuk tetap mengenyam pendidikan terutama bagi masyarakat dengan tingkat
ekonomi di bawah rata-rata dan bertempat tinggal di daerah terpencil dengan kondisi
geografis yang jauh dari perkotaan.
Namun perlu dicatat perlu
ada usaha dan pembenahan dalam penyelenggaraan PT kecil yang harus dilakukan
untuk mendongkrak APK kita menurut hemat penulis tanpa harus di merger diantaranya:
1) meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi
kehidupan, 2) meningkatkan pembiyaan pendidikan, 3) meningkatkan layanan
pendidikan yang berbasis pada budaya mutu, 4) menyediakan kurikulum pendidikan
sesuai standar yang mengarah pada kebutuhan di lapangan.
Tidak ada komentar