ASYIKNYA BELAJAR MATEMATIKA
Abdul Halim Fathani, Dosen Universitas Islam Malang.
SIAPAPUN yang belajar matematika harus
berada dalam kondisi yang nyaman dan membahagiakan. Prinsip sederhana ini harus
tertanam dalam benak setiap guru matematika. Guru harus senantiasa berikhtiar
untuk bisa memfasilitasi siapapun yang mempelajari matematika.
Kurikulum
sekolah di Indonesia, memang menuntut siapapun siswanya, ketika belajar di
sekolah (tingkat SD, SMP, SMA) pasti harus mempelajari matematika. Jadi,
meskipun ada beberapa siswa yang memang secara fitrah bukan termasuk golongan
kelompok orang yang cerdas matematika, tetap harus “mau” belajar matematika
sewaktu di sekolah. Lagi-lagi, menjadi tugas guru, ialah memfasilitasi mereka
–baik yang cerdas matematika atau yang bukan- agar merasa nyaman dalam belajar
matematika.
Terkait
hal ini, penulis teringat paradigma kecerdasan yang dicetuskan Howard Gardner.
Paradigma kecerdasan Gardner adalah kecerdasan jamak (multiple intelligences).
Terdapat 4 (empat) poin kunci kecerdasan jamak versi Gardner. Yakni: 1) Setiap
orang mempunyai 8 kecerdasan atau lebih; 2) Pada umumnya orang dapat
mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai; 3)
Kecerdasan-kecerdasan umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks,
tidak berdiri sendiri-sendiri; dan 4) Ada banyak cara untuk menjadi cerdas
dalam setiap kategori. Adapun, 8 kecerdasan jamak tersebut adalah: kecerdasan linguistik,
kecerdasan matematis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan
kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersona, dan kecerdasan
naturalis.
Kecerdasan
jamak tersebut menjadi modalitas dalam pembelajaran. Kecenderungan kecerdasan
yang dimiliki setiap individu mempengaruhi gaya belajar seseorang. Gaya belajar
seseorang adalah cara yang paling mudah sebuah informasi masuk ke dalam otak
orang tersebut. Artinya apabila kita mengetahui kecenderungan kecerdasan
seseorang dari kecerdasan jamaknya, maka kita akan mengetahui gaya belajar
orang tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gardner, ternyata
gaya belajar siswa tercermin dari kecenderungan kecerdasan yang dimiliki oleh
siswa tersebut.
Agar
pembaca memperoleh gambaran riil perihal kaitan kecerdasan jamak dengan gaya
belajar, mari kita simak contoh berikut. Bayangkan dalam satu kelas ada 5 kelompok siswa yang sedang belajar matematika. Yaitu: (1) Kelompok siswa yang memiliki
kecenderungan kecerdasan linguistik; (2) Kelompok siswa yang memiliki
kecenderungan kecerdasan matematik; (3) Kelompok siswa yang memiliki
kecenderungan kecerdasan musik; dan (4) Kelompok siswa yang memiliki
kecenderungan kecerdasan kinestetik.
Sekarang,
mari kita perhatikan dua model pembelajaran yang digunakan guru dalam mengajar
matematika (Materi “Keliling dan Luas bangun Persegi”).
(Model
Pertama). Guru
mengajar 4 kelompok siswa tersebut dalam satu ruang kelas. Sebagaimana biasa,
guru menjelaskan secara umum konsep keliling dan luas bangun Persegi. Rumusnya
Keliling persegi = sisi + sisi + sisi + sisi, sedangkan luas persegi = sisi x
sisi. Lalu diberi beberapa contoh soal. Setelah itu para siswa diminta untuk
mengerjakan latihan soal yang tertera di lembar kerja siswa (LKS). Kemudian
dikumpulkan, lalu beberapa siswa ditunjuk untuk maju, mengerjakan di papan
tulis. Menjelang akhir pertemuan, guru memberikan pekerjaan rumah (PR) yang
berisi soal-soal lebih lanjut, yang harus dikerjakan di rumah, dan selanjutnya
dikumpulkan pada pertemuan berikutnya. Aktivitas pembelajaran yang
diselenggarakan guru ini, diadakan di dalam ruang kelas (yang sudah tertera di
jadwal) dengan waktu yang sudah ditentukan. Siswa duduk rapi di kursinya
masing-masing dengan serius memperhatikan penjelasan guru.*
(Model
Kedua). Guru
melaksanakan pembelajaran di ruang kelas. Mula-mula guru menyuruh agar siswa
kumpul sesuai dengan kelompoknya masing-masing yang didasarkan atas
kecenderungan kecerdasan yang dimiliki. Ada 4 kelompok siswa. Lalu, guru
menyuruh agar siswa membaca (memahami) materi keliling dan luas bangun Persegi.
Selanjutnya guru memberikan permasalahan matematik untuk dicari
penyelesaiannya. Guru tersebut memberi kebebasan kepada siswa dalam
menyelesaikan permasalahan matematik. Faktanya, dari 4 kelompok tersebut mengambil
keputusan yang unik. Kelompok (1), yang terdiri dari siswa yang memiliki
kecenderungan kecerdasan linguistik memilih melakukan diskusi di dalam ruang
kelas dengan berpedoman pada buku teks yang dimiliki. Kelompok (2) yang terdiri
dari siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan matematik juga melakukan
pembahasan di dalam kelas. Namun, kelompok ini terlihat lebih “serius”
dibanding kelompok linguistik tadi. Kelompok ini relatif lebih cepat dalam
menyelesaikan permasalahan matematik. Kelompok (3) yang terdiri dari siswa yang
memiliki kecenderungan kecerdasan music memilih mengerjakan di luar kelas. Mereka
lebih senang belajar di area yang tidak sunyi-sepi. Di luar itu, ada sebagian
mereka yang sambil mendengarkan musik (namun tidak mengganggu teman lain).
Kelompok ini membutuhkan waktu yang lebih lama disbanding dua kelompok tadi. Sedangkan
kelompok (4), yang merupakan kelompok siswa yang memiliki kecenderungan
kecerdasan kinestetik memutuskan untuk menyelesaikan di luar kelas, di halaman
sekolah. Mereka berkumpul di lapangan voli. Dengan menggunakan tali rafia,
mereka mengukur secara langsung keliling dan luas lapangan voli tersebut. Dari
4 kelompok tersebut, ternyata, semuanya bisa menyelesaikan masalah matematik
yang diberikan guru. Hanya saja, yang perlu dicatat, masing-masing kelompok memiliki
gaya belajar yang berbeda dan waktu yang dibutuhkan pun tidak sama. Sepintas,
bisa disimpulkan kelompok dengan kecerdasan linguistik dan matematika memiliki
gaya belajar yang relatif sama dan waku yang relatif cepat. Sementar kelompok
lainnya lebih memiliki gaya belajar yang tidak “biasa”, namun mereka merasakan
kebahagiaan dalam belajar.
***
Dari
dua model pembelajaran matematika di atas, silahkan dipilih! Mana yang lebih
baik, model pertama atau model kedua? Sekilas, model kedua dianggap lebih baik,
karena bisa membuat semua siswa nyaman dalam belajar matematika. Namun memiliki
kelemahan, yakni sistem pembelajaran menjadi lebih kompleks. Dan, inilah sebenarnya tantangan bagi kita semua.
Namun,
hemat penulis, akan lebih bijak, kita tidak perlu mengatakan model pertama atau
model kedua, itu lebih baik atau lebih jelek. Tetapi, seyogianya, kita bisa
berprinsip, “apapun modelnya itu baik, asalkan
model itu sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Asal model
pembelajaran itu dapat membuat nyaman siswa untuk belajar”. Secara umum agar
siswa nyaman dalam belajar matematika, maka guru harus dapat melayani dan
memfasilitasi siswa sesuai dengan kebutuhannya berbasis individual atau kelompoknya.
Dan, hal ini dipengaruhi oleh kecenderungan kecerdasan jamaknya masing-masing
individu.
Jika
demikian, maka penulis yakin siapapun yang belajar matematika akan merasakan
kebahagiaan. Setiap siswa, bahkan yang tidak suka matematika pun, akan merasa
enjoi dalam belajar matematika. Mereka tidak lagi perlu ada ketakutan ketika
masuk kelas matematika. Karena dalam pembelajarannya, dilaksanakan dengan penuh
keceriaan yang dilandasi oleh gaya belajar individu masing-masing. So, belajar
matematika itu asyik. [ahf]
Tidak ada komentar