THE END OF MADRASAH DINIYAH SORE
Terkait dengan istilah madrasah mungkin pertanyaan yang
harus dijawab dulu adalah, sejak kapan madrasah itu ada di Indonesia? Jawabannya
ini akan dapat melihat eksistensi dari madrasah itu sendiri. Menurut pendapat Lee Kam Hing, madrasah
di Indonesia adalah fenomena
post war. Madrasah di Indonesia punya sejarah yang berbeda dengan madrasah Nizamiyah di
Baghdad atau pun madrasah lain di jazirah Arab.
Madrasah di Indonesia cenderung bermakna sekolah (school). Kesamaan
madrasah dan sekolah terutama terletak pada bentuknya yang sama; kelas berjenjang yang ditentukan berdasarkan jangka waktu tertentu, kurikulum yang
ditentukan selama jangka waktu belajar, dan tempat di mana guru mendatangi kelas di tempat murid yang berada.
Jika mengacu pada keberadaan madrasah di masyarakat Islam
tradisional, hal ini baru ada pada abad ke 20 awal dengan pesantren Tebuireng dan
pesantren Tambakberas sebagai pioneer. Bentuk pesantren menurut Abudin Nata,
sebagai ‘karoseri’ dalam arti bentuk dan sistematikanya adalah seperti sekolah dan
isinya tetap kurikulum keagamaan ala pesantren. Madrasah-madrasah model seperti ini kemudian disebut sebagai madrasah diniyah.
Persoalan berlanjut tatkala Indonesia sebagai negara yang merdeka mengadopsi sistem pendidikan ala Hindia Belanda dan Jepang. Hal ini membuat posisi madrasah dan pesantren berada di luar struktur pendidikan negara.
Persoalan di awal kemerdekaan di mana pemerintah menyerahkan
pendidikan agama kepada pribadi masing-masing dan pendidikan agama hanya menjadi
menu pilihan di sekolah-sekolah umum, membuat para tokoh Islam terutama dari kalangan
alumni pesantren menjadi tergerak untuk membuat madrasah yang dilaksanakan pada
sore hari.
Keberadaan madrasah ini adalah sebagai suplemen bagi keberadaan
sekolah umum yang dianggap tidak mengajarkan agama dengan cukup. Berbeda dengan
madrasah diniyah utama yang dilaksanakan pada pagi hari, madrasah diniyah yang
dilaksanakan pada sore hari relatif berjalan lancar walau luput dari perhatian negara.
Persoalan bermula, tatkala jam-jam di
sekolah semakin bertambah. Di Surabaya misalnya,
tahun 1980-1990-an SD, SMP, dan SMA rata-rata masuk sampai jam 12 siang. Perkembangan akhir Orde Baru dan Pasca Suharto di mana banyak SMP
dan SMA memiliki kegiatan belajar sampai jam 2 siang bahkan sampai jam 4 siang mengubah konstalasi madrasah diniyah sore.
Banyak dari mereka yang akhrinya ditutup karena anak-anak lebih mengutamakan pendidikan formal disbanding pendidikan diniyah sore.
Sebagian madrasah diniyah sore
kemudian merubah waktunya menjadi lebih malam dengan cara melaksanakan diniyah setelah maghrib. Tentu animonya semakin berkurang karena anak-anak banyak yang letih setelah seharian berkegiatan di sekolah. Madrasah
diniyah sore yang menurut PMA 2014 disebut sebagai madrasah takmiliyah lebih tertekan lagi dengan keberadaan les-les yang diadakan oleh lembaga kursus ataupun oleh sekolah-sekolah. Bukti jelasnya adalah tatkala Ujian Nasional akan dilaksanakan, sering kali para
siswa mendapatkan dril berbulan-bulan untuk dapat menjawab soal ujian dan itu memakan waktu di luar jam sekolah.
Keberadaan madrasah diniyah semakin terdesak dan bahkan di kota-kota sudah mati suri. Keberadaan mereka masih banyak bertahan di pedesaan karena diuntungkan jam sekolah yang
masih relatif
pendek dibanding sekolah-sekolah menerapkan full day school. Tatkala sekarang Menteri Pendidikandan Kebudayaan, Muhajir menerapkan kebijakan full day
school, otomatis ini menjadi dentang kematian madrasah-madrasah
diniyah sore dimaksud dan mungkin pada akhirnya, inilah saatnya kita berkata, “innalillah” untuk madrasah diniyah sore.
Tidak ada komentar