PROBLEMA SEKOLAH UNGGULAN
Oleh Ach. Nurcholis Majid, dosen di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan dan anggota komunitas dosen menulis.
Selama
ini, fakta sekolah unggul selalu diwarnai oleh minimal dua kesamaan identitas
itu. Ironisnya, orang tua meyakini hanya sekolah tertentu yang dapat membuat
anaknya berprestasi, dengan melihat profil alumninya yang lulus dengan baik
secara akademik. Padahal sadar atau tidak, para orang tua lupa terhadap
kemampuan diri dan anaknya.
Beberapa
sekolah unggulan selalu meyakini bahwa indikator kecerdasan adalah intelegence
quotient (IQ). Sehingga, mereka akan memberikan tes masuk dengan
serangkaian soal yang menjadi standar input. Anak dengan kualitas intelektual
rendah, apalagi anak yang memiliki learning disability (hambatan
belajar), siap-siap gigit jari.
Terima
Jadi
Dengan
demikian, sekolah unggulan akan terus diminati oleh orang tua dan murid.
Menjadi primadona. Tetapi kesalahan terbesarnya adalah kemampuan mendidiknya
hanya terbatas pada anak-anak yang sudah siap untuk bersaing.
Ada
yang berpendapat, bahwa kenyataan ini lumrah terjadi, orang yang pintar harus
dikumpulkan agar dapat bersaing. Tidak ada yang salah dengan pendapat ini,
tetapi peserta didik sama sekali bukan hewan piaraan yang hanya boleh
diletakkan satu kandang dengan hewan sejenisnya.
Akibat
dari sistem yang mendewakan intelegence quotient ini, dapat dilihat dari
maraknya anak-anak yang tidak dapat menghargai orang lain. Peserta didik yang
berlaku curang demi mendapatkan keunggulan. Tidak mau berbagi karena takut
tersaingi oleh temannya.
Kuda
memang tidak dapat dilombakan dengan kambing perihal lari, tetapi keduanya
dapat diajak bekerjasama untuk meraih daun di pohon yang tinggi untuk dimakan.
Sekolah unggulan seringkali lupa, bahwa pendidikan seharusnya lebih
mengutamakan teamwork daripada competition.
Untuk
mencapai keadaan yang demikian, memang sedikit susah. Tetapi Howard Gardner
pernah berpesan, agar guru tidak bertanya seberapa cerdas sang murid, tetapi bertanyalah
bagaimana seorang guru dapat membuatnya cerdas.
Biaya
Tinggi
Hal
yang perlu diperhatikan berikutnya, sekolah unggulan seringkali berbanding
lurus dengan biaya yang tinggi. Beberapa alasan yang mendasari tingginya biaya
ini adalah ketersediaan sarana yang lengkap, tenaga pengajar yang profesional,
dan tentu pendidikan yang akan diberikan memiliki brand yang terkenal. Terlihat
misalnya, dari testimoni alumni.
Beberapa
alasan itu tidak mengada-ada. Sarana yang ada di sekolah unggulan bisa
dipastikan lebih lengkap daripada sekolah biasa. Tetapi kadangkala sarana yang
dimaksud sama sekali tidak berhubungan langsung dengan suksesi pendidikan.
Misalnya kondisi ruangan yang sejuk karena terdapat air conditioner,
bangunan yang elit, dan sebagainya. Padahal, walaupun sarana-sarana itu tidak
ada, pendidikan tetap bisa terlaksana dengan baik.
Tidak
terkecuali sekolah unggulan berbasis keagamaan. Sehingga mindset orang
Indonesia tentang sekolah unggulan, adalah semakin unggul suatu sekolah,
semakin besar juga biaya yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk
melanjutkan pendidikannya.
Melupakan
Dimensi Kultural
Bentuk
pendidikan yang berdasar pada keseragaman, seperti dikemukakan sebelumnya,
tentu akan berakibat pada dimensi kultural dalam pendidikan. Pendidikan yang
selama ini secara kultural, dijadikan sarana agar manusia dapat berlaku pantas
dan bekerjasama. Dapat berubah menjadi kultur pesaing yang rakus.
Hal
ini terjadi tentu karena dua faktor. Pertama, karena faktor psikologis yang
membuat seseorang merasa bangga karena diterima di suatu sekolah unggul. Kedua,
karena faktor sosiologis. Seseorang dapat berubah kelas sosialnya, karena dia
memiliki prestasi berupa komunitas yang dianggap mapan. Pada
puncaknya, kultur pendidikan yang selama ini diharapkan menjadi kultur positif,
berubah menjadi bumerang. Sementara pada saat yang sama, sekolah unggul yang
buruk dilestarikan oleh kultur yang buruk. Padahal, salah satu tugas pendidikan
adalah melestarikan kultur positif dan membinanya agar terus melekat pada
masyarakat tertentu.
Permasalahan-permasalahan
itu jelas adalah sesuatu yang mengerikan. Namun tidak mungkin juga meniadakan
sekolah unggulan. Sesuatu yang bisa dilakukan adalah membina sekolah unggulan
secara baik, dan menjawab permasalahan-permasalahan yang sedang berkembang
dalam sekolah unggulan. Masyarakat
dan pemerintah tidak boleh menutup mata, bahwa sekolah unggulan bukan suatu
lembaga yang kebal kritik. Sebaliknya, seharusnya selalu melakukan evaluasi
diri agar dapat terus mengembangkan diri, terutama membina kultur pendidikan di
dalam masyarakat.
Tidak ada komentar