ORANG TUAMU BUKAN TEMAN: Sebuah Pendidikan Keluarga
Oleh Dr. Amie Primarni, pengasuh komunitas dosen menulis.
Membaca judul ini sebagian mungkin punya pemikiran ini judul anti "main stream". Ini judul ingin beda sendiri.
Membaca judul ini sebagian mungkin punya pemikiran ini judul anti "main stream". Ini judul ingin beda sendiri.
Hampir sebagian metoda pendidikan atau pengasuhan kita adopsi dari Barat kadang tanpa adapsi. Apa maksudnya adopsi, adopsi adalah mengambil bulat-bulat, mentah-mentah tanpa di olah dan di pilah apa yang disuguhkan dari Barat.
Sementara adapsi adalah mengambil yang sejalan, memilah dan mengolah yang se-visi. Dalam adapsi ada proses penyaringan, dalam adopsi tidak ada proses penyaringan.
Saya agak tergelitik saja ketika kita kebablasan dalam pendidikan dan pengasuhan di mana orang tua melakukan pendekatan dan memposisikan anak sebagai teman. Atau orang tua kemudian mengganti perannya dengan memerankan sebagai teman. Saya merasa ada yang kurang pas di sini.
Bagi saya, orang tua tetap harus diposisikan sebagai orang tua, dan memerankan peran orang tua. Dia bertanggungjawab atas akhlak dan pribadi anak. Dia punya kewajiban menyampaikan yang benar dan salah. Apa yang boleh dan tidak. Dan dia bisa memberlakukan dirinya sebagai pengambil kebijakan dan keputusan terhadap anak jika kondisi membutuhkan dan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak.
Saya setuju saja dengan pola mendekati anak "seperti" teman. Bukan "sebagai" teman. Sebab jika orang tua berperan sebagai teman, dia akan kehilangan "the power of control" yang sangat berbahaya bagi anak. Anak jadi enggan jika dinasehati, karena dia menganggap orang tua adalah temannya.
Padahal nasehat adalah salah satu cara pengasuhan yang dianjurkan dalam Islam.
Lalu bagaimana sebaiknya hubungan orang tua dan anak ?
Begini jangan buru-buru panas ya, dengan judul yang saya gunakan.
Sesungguhnya kita - manusia - membutuhkan sebuah kepastian. Mana yang benar mana yang salah. Mana yang baik dan mana buruk. Termasuk mana yang berdosa atau tidak berdosa, halal - haram.
Anak juga membutuhkan kepastian mana yang diizinkan dan mana yang tidak. Anak yang dibiarkan tanpa aturan justru akan tersesat. Naah... peran "pengorganisir" dan "pengendalian serta pengawasan" ada di peran orang tua sebagai leader bagi anaknya. Peran ini tidak bisa disandangkan ketika kita sedang berperan sebagai teman. Ini akan dirasa sebagai ambigiutas peran dan anak akan kebingungan memposisikan dirinya.
Saya sebagai orang tua dari empat anak merasakan betul bagaimana harus menyesuaikan peran yang kita gunakan saat menghadapi anak dengan karakter yang berbeda dalam kondisi yang berbeda. Tetapi satu yang penting, peran orang tua tak bisa di subtitusi, dia tetap harus pada posisinya sesuai dengan tanggungjawabnya.
Kita bisa melakukan pendekatan yang lebih tenang, santai kalau anak-anak bilang "cool". Tidak menakutkan sehingga memberi jarak, dan lebih stabil dalam pengendalian emosi sehingga anak tidak terkaget-kaget karena kita tak bisa konsisten, atau malah terlalu kaku. Bahwa kita harus lentur dalam melakukan pendekatan itu benar. Kita ubah gaya komunikasi yang lebih cair, it's ok. Tapi jangan sampai kehilangan peran orang tua yang sesungguhnya. Sebab setiap peran akan dimintai tanggungjawabnya.
Orang tua akan diminta tanggung jawab pendidikan dan pola asuhnya. Begitu juga anak akan diminta tanggungjawab bakti dan penghormatannya pada orang tua.
Tidaklah Allah menciptakan sesuatu sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya dengan sia-sia.
Tidak ada komentar