MENJEMPUT BOLA: STRATEGI PERCEPATAN PEMERATAAN INFRASTRUKTUR PENDIDIKAN DI DAERAH 3T
Oleh: Khairul Azan, dosen STAIN Bengkalis & Ketua DPD GAMa Riau Kabupaten Bengkalis, Komunitas dosen menulis.
Lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 memberikan perubahan yang signifikan dalam segala sektor kehidupan bernegara. Undang-Undang otonomi daerah merupakan trobosan baru yang lakukan pemerintah dalam percepatan pembangunan di daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan di atas memberikan makna bahwa otonomi daerah merupakan pengelolaan yang berbasis pada desentralisasi bukan lagi sentralisasi seperti yang kita rasakan sebelumnya. Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 ini merupakan semangat baru bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang termaktud dalam sila kelima Dasar Negara. Desentralisasi (World Bank, 2001) adalah transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta.
Desentralisasi terdiri dari empat jenis, yakni desentralisasi politik, desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, serta desentralisasi pasar. Desentralisasi menitik beratkan pada keaktifan daerah dalam mengelola dan mengembangkan sendiri daerahnya masing-masing sesuai potensi yang ada dengan pola kebijakn button up-top down (dari bawah ke atas). Sehingga dengan adanya pola seperti ini diharapkan kebijakan yang dirumuskan mengarah pada kebutuhan masyarakat bukan didasari kepentingan elit penguasa semata.
Otonomi daerah harus dilakukan. Pandangan ini didasari pada fakta yang kita temui bahwa diera sentralisasi pembangunan terasa kian lamban dan tidak merata. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang luas dibanding negara yang lainnya, yang terdiri dari 34 Provinsi dengan 13.466 pulau di dalamnya yang tediri dari dearah perkotaan dan pedesaan. (Terdaftar di Perserikatan Bangsa Bangsa dalam sidang United Nation Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN) ke-10, 2012 di New York, AS).
Di era sentralisasi pembangunan seringkali menumpuk di daerah tertentu, seperti perkotaan dan daerah yang dekat dengan zona pusat pemerintahan Ibu Kota NKRI. Sehingga tidak heran jika pembangunan di derah pedesaan khususnya yang berada pada kategori 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) seperti terlupakan khususnya disektor pendidikan.
Implikasi dari tidak meratanya pembangunan didaerah tersebut maka muncullah gerakan-gerakan kedilan untuk menuntut haknya bahwa Indonesia itu sama, tidak ada deskriminasi. Inilah yang terjadi diera sentralisasi. Kini Indonesia telah berubah dengan warna yang berbeda. Desentralisasi sebagai paradigma baru dalam mewujudkan Indoenesia jaya.
Kini 13 tahun sudah Indonesia menggunakan istilah otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Berbagai trobosan dilakukan oleh pemerintah dalam menunjang semangat otonomi khususnya dibidang insfratruktur pendidikan seperti yang digaung-gaungkan. Namun pertanyaannya. Apakah otonomi telah berjalan baik di Indonesia?, sudah tidak adakah lagi sekolah yang tidak layak pakai khususnya di daerah 3T. Ini pertayaan yang perlu kita jawab bersama.
Menurut hemat penulis semangat otonomi belum merata di Indonesia. Disamping itu pembangunan infratruktur pendidikan juga masih menumpuk di daerah perkotaan sementara didaerah 3T sebut saja daerah belahan timur Indonesia yang daerahnya sebagian besar masih tergolong 3T belumlah maksimal. Penulis masih menemukan sekolah yang berdindingkan tasak bambu, kondisi sekolah yang mau roboh, jarak tempuh kesekolah yang begitu jauh dengan akses yang memprihatinkan dan angka putus sekolah yang masih tinggi ini semua menandakan bahwa otonomi daerah belumlah berhasil diterapkan. (data ketika penulis menjabat tanaga ahli sebagai konsultan verifikasi pembangunan SMP USB/STAP dari Kemendikbud di seluruh Provinsi yang ada di Indonesia).
Dari permasalahan di atas lantas apa sebetulnya yang menjadi kendala dalam implementasi otonomi daerah sehingga kebijakan yang digulirkan untuk mewujudkannya belum begitu terasa dimasyarakat. Ada dua sisi yang bisa menjadi bahan intropeksi bagi kita semua dalam rangka mensukseskan semangat otonomi daerah. Pertama, dari sisi pemerintah pusat. Meskipun otonomi daerah telah digaungkan namun seringkali masih ada benturan kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah begitu juga sebaliknya yang membuat kurang leluasanya pemerintah daerah dalam bertindak untuk percepatan pembangunan di daerah. Ini mengindikasikan bahwa semangat otonomi (desentralisasi) masih separuh-separuh digulirkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Kedua, dari sisi pemerintah daerah. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa semangat otonomi menuntut kemandirian dan keaktifan daerah masing-masing dalam hal pembangunan daerah yang berbasis pada kebutuhan masyarakatnya. Tentunya dalam hal ini pemerintah daerah harus bertindak aktif layaknya penyerang dalam permainan sepak bola yaitu menjemput bola bukan menunggu bola seperti yang terjadi di era sentralisasi dimana pemerintah daerah hanya menunggu apa yang diberikan oleh pemerintah pusat. Ibarat sebuah keluarga yang tau priuk dan kebutuhannya masing-masing adalah keluarga itu sendiri bukan orang lain. Begitu jugalah hidup diera desentraliasi atau otonomini daerah ini.
Sebagai contoh mengapa pembangunan insfratruktur pedidikan di daerah belum kian merata padahal proyek di pusat begitu melimpah. Jawabanya adalah masih adanya paradigma dari para pejabat daerah yang belum berpindah dari sentralisasi menjadi desentralisasi dalam semangat otonomi daerah. Sebagai analisa jika pada tahun ini pemerintah pusat menganggarkan kuota sebanyak 10 ribu sekolah baru yang akan didirikan di suluruh pelosok nusantara dengan catatan dearah harus mengusulkan proposal sebagai bentuk bahwa mereka membutuhkannya. Maka jika daerah tersebut masih memegang paradigma lama (sentralisasi) yaitu selalu menunggu apa yang diberikan pemerintah pusat dan enggan menjemputnya dengan artian mengusulkan proposal, maka peluang tersebut akan diambil oleh daerah yang aktif menjemputnya sehingga terjadilah distribusi kuota 8000 pembangunan sekolah diarahakan ke daerah yang aktif dan hanya 2000 daerah yang tidak aktif akan mendapatkannya.
Tidak ada komentar