MEMERDEKAKAN HAK BANGSA
Oleh Khalifurrahman Fath, Kepala SD Generasi Azkia dan penerjemah paruh waktu di beberapa penerbit.
Hari ini seluruh penjuru negeri yang gemah ripah loh jinawi bernama Indonesia, sedang bersukacita merayakan kemerdekaan. Putra-putri bangsa bergembira, pekik kemerdekaan menggema di seantero negara kesatuan. Merdeka!
Aku termenung. Sudah 72 tahun kemerdekaan bangsa ini diproklamirkan. Pertanyaan yang terbesit dalam benakku mengapa kemerdekaan begitu bermakna? Mengapa bangsa ini bersukacita memilikinya?
Terbayang wajah keriput kakek-nenek moyang bangsa ini mendengar proklamasi itu. Tergambar bayangan pemuda-pemudi yang dengan suara lantang meneriakkan “merdeka..!, merdeka..!, merdeka..!”. Bersahutan satu sama lain.
Air mata para pahlawan di hari itu begitu bening memancarkan kebahagiaan. Tak lagi dikotori warna darah. Tak lagi berbau anyir. Merdeka! Mereka, bahkan seluruh penduduk negeri ini, tentu kala itu lebih berbahagia dari kita saat ini. Bagaimana tidak, mereka tentu lebih tajam merasakan makna kemerdekaan, karena mereka yang secara langsung merasakan sakitnya disayat sembilu penjajahan.
Jangankan sampai ratusan tahun dijajah Belanda (meskipun angka 350 tahun masa penjajahan Belanda masih diperdebatkan, karena kalau ditarik mundur, tahun 1959 itu merupakan pertama kalinya kapal Cornelius Van Hotman yang mengibarkan bendera Belanda berlabuh di laut Banten untuk tujuan berdagang), tiga setengah tahun di bawah kolinialisme Jepang saja bangsa ini sudah teramat sengsara.
Penderitaan bangsa ini teramat memilukan. Penjajahan benar-benar musuh kemanusiaan. Biadab! Sebab, penjajahan telah menghilangkan hak-hak asasi makhluk Tuhan bernama manusia. Karena penjajahan, manusia kehilangan rasa aman. Karena penjajahan, manusia kesulitan mendapatkan sandang pangan. Dan, karena penjajahan, manusia jauh dari kata merawat kesehatan. Saat itu yang diperhatikan hanyalah merawat tanah air tempat tinggalnya sendiri. Seluruh kekuatan lahir batinnya dikerahkan untuk berupaya mengenyahkan penjajahan.
Merdeka!
Setelah 72 tahun pekikan itu bergema, bangsa ini mulai dilanda kegalauan. Bangsa ini dilanda keraguan. Bangsa ini dihantui kesangsian. Bisik-bisik mulai ramai dipertanyakan; “Benarkah kita sudah merdeka?!” Tak perlu dijawab memang, karena secara legal formil, kemerdekaan bangsa ini telah diakui dunia. Tetapi dalam perspektif kemanusiaan dan keindonesiaan, pertanyaan semacam ini harus dijadikan “ledakan” yang menghenyakkan kita dari lamunan euforia HUT Kemerdekaan.
Maka, agar tidak dibuai euforia, kita yang saat diproklamirkan kemerdekaan itu belum ada, perlu memahami betul hakikat kemerdekaan. Mungkin juga perlu membayangkan perihnya penjajahan, yang telah merampas dan menghilangkan hak-hak kemanusiaan: rasa aman, kehidupan yang layak, pendidikan, dan kesehatan.
Di titik inilah mungkin kita akan disadarkan pada fakta di tengah bangsa ini, bahwa hak-hak itu belum sepenuhnya merata. Masih ada kalangan yang belum merasa aman, susah mendapatkan sandang-pangan dan kehidupan yang layak, belum mengenyam pendidikan, dan kesulitan mengakses kesehatan. Jika fakta ini masih ditemukan, jangan-jangan pekik kemerdekaan yang kita teriakkan justru hanya menyakiti kalangan tertentu dari saudara kita yang hak-haknya masih terbelenggu.[]
Tidak ada komentar