Masalah Pendidikan Agama Dengan Kewarganegaraan dan Rekomendasinya
Oleh: Irham, dosen tetap UNISMA Bekasi.
Akhir-akhir ini peran pendidikan agama dalam memupuk kebhinekaan Indonesia dapat dikatakan menurun. Berdasarkan hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta yang diseminarkan pada 15/12/16 di gedung theater Fakultas Psikologi UIN Jakarta, menunjukkan bahwa guru agama di sekolah memiliki sikap ambigu, yakni satu sisi menerima Pancasila serta UUD 45 dan sisi lainnya berkeinginan penerapan syariat Islam. Walaupun temuan tersebut tidak dapat digeneralisir, setidaknya hal itu menunjukkan gejala tidak baik pada konteks keindonesiaan.
Penelitian sebelumnya yang diseminarkan pada 29/9/16 yang dihadiri Mendikbud di FISIP UIN Jakarta, menunjukkan bahwa buku teks pendidikan agama Islam meskipun pada bagian tertentu mengajarkan toleransi tetapi ada bagian lainnya cenderung intoleransi kepada perbedaan.
Fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan agama terdapat masalah serius. Rekomendasi yang dapat ditawarkan adalah pendidikan agama di sekolah perlu kiranya diperkuat kembali perannya, di samping untuk memperdalam pengetahuan agama juga memperkuat pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan agama tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan.
Jadi, dua hal ini semestinya dapat diintegrasikan secara harmonis. Penulis ingin menyampaikan bagaimana mendesain pendidikan agama agar ada kesinambungan dengan pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan Integratif
Pada tahun 2015 penulis melakukan penelitian tentang pendidikan agama dan multikulturalisme di sekolah swasta di Bintaro yang anak didiknya beragam. Sekolah tersebut mampu mengharmonisasikan keberagaman melalui pendidikan agama. Satu temuan penting yang mendasar adalah adanya keyakinan oleh pengelola sekolah bahwa perbedaan dan kemajemukan merupakan potensi sosial.
Selanjutnya mewujudkan pendidikan agama yang integratif dengan tiga cara. Pertama inklusifitas guru agama, yakni guru agama memiliki paradigma dan sikap terbuka atas perbedaan. Guru agama memiliki pandangan yang luas baik pada sisi keagamaan maupun pada sisi wawasan kebangsaan. Dengan demikian peran agama sebagai rahmat seluruh alam dan program pendidikan yang baik dapat diimplementasikan oleh guru agama sesuai dengan tujuan dan harapan.
Kedua kurikulum pendidikan agama yang transformatif. Kurikulum ini menunjukkan adanya keterkaitan antara pengetahuan agama dengan tema-tema yang berhubungan dengan konteks kewarganegaraan/kebangsaan. Misalnya tentang toleransi, demokrasi atau Pancasila yang masing-masing dibahas sesuai dengan perspektif agama.
Selain itu pendidikan agama dapat menjadi ajang dialog antar anak didik yang berbeda dan memperkuat hubungan antara agama serta wawasan kewarganegaraan-kebangsaan.
Ketiga pembiaasaan dalam lingkungan sekolah. Pembiasaan yang perlu diterapkan terkait dengan perilaku keberagamaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Dengan demikian secara sendirinya nilai-nilai agama dengan kebangsaan dapat terintegrasi tanpa adanya konflik. Pembiasaan yang diterapkan sekolah paling tidak dapat menciptakan interaksi sosial anak didik yang inklusif dan memiliki tenggang rasa yang tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Merancang model pendidikan di atas tidaklah semudah membuka telapak tangan. Beberapa hambatan yang masih ditemui yaitu terkait dengan wawasan guru agama yang sempit dan terbatasnya sumber bacaan. Selain itu masih terkungkungnya pada kurikulum yang sifatnya uniform, misalnya kurikulum nasional. Untuk mengatasi tantangan ini pihak sekolah atau pihak yang berwenang (pemerintah) perlu memberikan pembinaan kepada guru agama untuk meningkatkan inklusifitasnya.
Sekolah juga harus memberikan fasilitas pengembangan akademik kepada guru agama agar dapat melihat perkembangan dan perubahan dunia serta menjadi guru agama yang kreatif.
Pada akhir tulisan ini ingin menyatakan bahwa masa depan bangsa Indonesia yang berbhinneka Tunggal Ika, dapat ditentukan oleh corak pendidikan agama saat ini. Apabila pendidikan agama tidak sejalan dengan pendidikan kewarganegaraan, maka akan menjadi ancaman baru bagi bangsa dan negara. Sudah semestinya pendidikan agama dan kewarganegaraan bersinergi. Lalu kapan lagi kalau tidak segera disinergikan?
Tidak ada komentar