KEBIJAKAN FULL DAY SCHOOL: 4 ASPEK YANG TAK BOLEH DITINGGALKAN
Oleh Khairul Azan, dosen STAIN Bengkalis & Ketua DPD GAMa Riau Kabupaten Bengkalis, komunitas dosen menulis.
Pendidikan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling mempengaruhinya. Keberhasilan tujuan pendidikan merupakan tanggungjawab kita bersama. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 dalam pasal 13 ayat 1 jelas menegaskan bahwa “jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, non formal dan informal”.
Pendidikan formal adalah pendidikan yang diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang seperti lembaga pendidikan pada umumnya (sekolah). Adapun pendidikan non formal adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang bersumber dari didikan orang tuanya masing-masing atau bahasa sederhananya adalah pendidikan keluarga.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sekolah, masyarakat dan orang tua harus saling bekerjasama dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
Sekolah, masyarakat dan orang tua memiliki kedudukan dan peran yang sama dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga dengan demikian sebuah paradigma yang salah jika ada sebagian orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada lembaga pendidikan seperti sekolah.
Dari tiga jalur pendidikan seperti yang termaktub dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 di atas jika kita mencoba menguhubungkan dengan isu yang sedang hangat dibicarakan terkait wacana full day school yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy tentunya hal yang menarik untuk dikaji secara mendalam oleh para stakeholder pendidikan.
Inovasi merupakan suatu keseharusan. Tanpa inovasi tidak akan terwujud suatu kemajuan. Oleh karena itu dituntut adanya dua prinsip yang perlu dipegang teguh dalam formulasi kebijakan pendidikan, yaitu: 1) Prinsip perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Prinsip ini mengandung makna bahwa segala kebijakan baru yang dirumuskan tidak terlepas dari tindak lanjut dan pengembangan dari kebijakan sebelumnya. 2) Prinsip kebutuhan sosial (social demand). Prinsip ini mengharuskan perumusan kebijakan hendaknya menjunjung tinggi prinsip kebutuhan sosial dari bawah bukan kepentingan para atasan untuk menunjukkan eksistensinya.
Hal ini sejalan dengan tuntutan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 yang dikenal dengan sistem pengambilan kebijakan berbasis buttom up atau desentralisasi pendidikan.
Lebih lanjut jika wacana tentang full day school ini menjadi sebuah kebijakan baru nantinya, hal yang perlu dikaji lebih teperinci adalah bagaimana kebijakan tersebut bisa diimplementasikan secara baik dikemudian hari.
Paling tidak menurut Anderson (1979) ada empat aspek yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan implementasi sebuah kebijakan, yaitu: 1) Who involved policy implementation. Pada aspek ini jika kita batasi pada konteks kelembagaan. Maka lembaga pendidikan apa saja yang terlibat dalam implementasi kebijakan ini. Di Indonesia ada dua tipe lembaga pendidikan yaitu lembaga pendidikan yang dikelola yayasan seperti sekolah-sekolah swasta dan lembaga pendidikan yang secara langsung dikelola oleh pemerintah seperti sekolah-sekolah negeri.
Pada konteks sekolah-sekolah swasta khususnya yang berada di daerah perkotaan seperti sekolah yang mengadopsi sistem terpadu mungkin kebijakan full day school ini tidak menjadi permasalahan karena pada umumnya mereka jauh sebelumya sudah menerapkan kebijakan FDS. Seperti masuk pukul 7.00 pagi dan pulang pukul 17.00 sore. Dan rata-rata para customernya adalah anak-anak dari latar belakang ekonomi yang mapan dan orang tuanya adalah para pekerja yang berangkat kerja pukul 7.00 pagi dan pulang pukul 17.00 sore.
Oleh karena itu tidak heran jika para orang tuanya sanggup memasukkan anaknya ke sekolah tersebut meskipun harus mengeluarkan uang yang besar. Namun jika pada konteks sekolah negeri tentunya jika dibandingkan dengan sekolah swasta yang maju sangat jauh sekali perbedaannya. Banyak sekali kekurangannya baik dari sisi pembiayaan, SDM, fasilitas dan lain-lain. Apalagi sekolah negeri yang berada di pedesaan dan terpencil.
2) The nature of administrative process. Pada aspek ini hal yang perlu dipertimbangkan adalah mengenai administrasi atau pengelolaan pendidikannya apakah sudah sesuai dengan fungsinya atau tidak. Seperti fungsi planning, organizing, actuating, dan controlling. Karena jika kita melihat fakta di lapangan selama ini fungsi manajemen tersebut di sekolah negeri masih menjadikannya sebagai formalitas meskipun ada sebagian kecil yang menerapkan beberapa fungsi tersebut secara maksimal. Sementara di sekolah-sekolah swasta yang sudah maju beberapa fungsi tersebut betul-betul dilaksanakan karena tanpa manajemen yang baik sekolah swasta akan tertinggal dari sekolah negeri. Makanya tidak heran jika ada sekolah swasta yang baru berdiri seumur jagung kemanjuannya begitu pesat ketimbang sekolah negeri yang sudah lama berdiri.
3) Compliance with policy. Aspek ini menitik beratkan pada kepatuhan terhadap kebijakan yang ada. Kepatuhan akan terwujud apabila kebijakan tersebut sesuai dengan kebutuhan para pelanggannya. Jika kebijakan full day school diterapkan maka sekolah dituntut menyediakan fasilitas yang memungkinkan anak didik dan guru betah di sekolah. Barangkali jika melirik pada sekolah swasta hal ini tidak menjadi permasalahan. Seperti ruang kelas ber AC, WC di setiap ruang kelas, sarapan pagi, makan siang dan sarana bermain lainnya. Karena biaya masuknya mahal maka pengadaan fasilitas tersebut bagi sekolah swasta tidak menjadi kendala. Namun jika melirik pada sekolah negeri khususnya di daerah terpencil apakah mampu mewujudkannya. Tentunya ini menjadi PR pemerintah dan kita semua.
4) The effect of implementation
Aspek ini berbicara dampak dari kebijakan full day school jika diterapkan. Berbicara dampak tentunya tidak terlepas dari dampak positif dan negatif. Dampak positif bagi orang tuanya yang sibuk bekerja tentunya anak lebih terkontrol karena waktunya lebih lama di sekolah. Sementara dampak negatifnya adalah karena terlalu lama belajar anak akan kehilangan masa-masa bermain sebagai bagian kerja otak kanan yang merupakan penyeimbang otak kiri, khususnya bagi anak usia sekolah dasar dan tidak ada waktu untuk megenal dan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat dan teman sebayanya di luar sekolah.
Di samping itu dampak negatif bagi guru adalah kecilnya peluang guru untuk berinteraksi dan mengikuti kegiatan sosial di masyarakat karena waktunya sudah terporsir di sekolah. Lebih lanjut adanya kebijakan ini juga menjadi ancaman bagi eksistensi lembaga pendidikan keagamaan non formal dalam ranka memperkuat pembentukan karakter anak yang diselenggarakan oleh masyarakat seperti dalam agama Islam adanya Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) dan pendidikan keagamaan pada agama lain yang ada di Indonesia.
Beberapa aspek di atas haruslah diperhatikan oleh para pemangku kebijakan. Disamping itu peran serta orang tua dan masyarakat seperti yang dijelaskan sebelumnya harus ditingkatkan. Tanpa peran serta orang tua dan masyarakat sebaik apapun kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah tidak akan berhasil. Khususnya orang tua sebagai pendidik pertama. Oleh karena itu agar tumbuh kesadaran orang tua terhadap tanggungjawab pendidikan anaknya masing-masing maka pendidikan harus diarahkan pada pendidikan anak dan pendidikan orang tua.
Tidak ada komentar