FDS: Formalisasi Pendidikan
Jauh sebelum Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Prof. Muhadjir
Effendy, secara resmi menggulirkan gagasan FDS (Full Day School) atau sekola lima hari lewat Permendikbud 23/2017, sebenarnya
model ini sudah tidak asing di tengah masyarakat Indonesia.
Pada pertengahan dekade 90-an, seiring
maraknya layanan pendidikan plus yang
tumbuh subur bak jamur di musim penghujan, istilah full day school santer diperkenalkan sebagai salah satu layanan
pendidikan yang memberi nilai lebih, sekolah terpadu, sekolah alam, sekolah
unggulan, dan label-label lainnya.
Bahkan, jauh sebelum istilah full day school ini ada, lembaga
pendidikan Islam, khususnya pesantren yang sudah banyak tersebar di Indonesia
sejak zaman kolonialisme, sudah menerapkan sistem pendidikan 24 jam. Ya, bisa
disebut dari membuka mata hingga menutup mata kembali, begitulah kira-kira
adagium yang menggambarkan pendidikan pesantren dijalankan.
Konsekwensi
logisnya, setiap tingkah laku, sikap, sifat, dan ucapan dimaksudkan dalam
kerangka pendidikan dan pembelajaran. Di sini kita melihat padu-padan
pendidikan formal dan informal dalam satu bingkai pendidikan yang berlangsung
sehari semalam bernama pesantren. Jadi, jangan dibayangkan pendidikan sehari
semalam itu hanya berkutat dengan buku dan kitab saja. No!
Nah, jika ini yang menjadi referensi
bagi gagasan full day school, maka
menurut hemat saya tidaklah relevan. Sebab, jika sekolah “dipaksa”
menerapkannya dengan dalih sudah ada landasan hukumnya, proses yang berlangsung
dikhawatirkan hanya akan didominasi oleh pembelajaran. Sekolah akan memutar otak
untuk menambah muatan-muatan pelajaran saja.
Di
kampung-kampung, tanpa label full day
school, anak-anak sejatinya sudah belajar sepanjang hari, meskipun di dua
lembaga yang berbeda: sekolah formal di bawah Kemendikbud/Kemenag dan sekolah
diniyah atau keagamaan. Namun, di sela itu, mereka masih bisa bermain
layang-layang, berlari-lari di pematang sawah, ikut mengembala ternak, memanen
tanaman, berenang di kali atau laut, dan ragam aktivitas bebas-menyenangkan
lainnya. Alangkah senangnya masa kecil mereka tanpa dibelenggu formalisasi
pendidikan.
Tidak ada komentar