FDS dan Etika Berbangsa
Oleh Ufi Ulfiah, Lakpesdam PBNU
Salam Damai Raranggeuya.
Etika adalah soal nilai moral, ia dipercaya lebih luhur dari sekedar hukum perundang-undangan. Etika bersumber dari nilai kebaikan yang berasal dari manusia sebagai makhluk yang berakal dan berperadaban.
Manusialah yang memiliki kemampuan memilah mana yang patut dan mana yang buruk. Jika etika menjadi dasar pikir dan tindak kita sebagai makhluk yang berkerumun melebihi kepatuhan kepada hukum perundang-undangan, maka sesungguhnya kita berada pada nilai tertinggi sebagai makhluk. Karena aturan perundang-undangan dibuat justru karena kesadaran atas risiko bahwa manusia memiliki potensi buruk, bahkan bisa selevel dengan binatang. Sedangkan kepatuhan pada etika justru sedang menunjukan kualitas tertinggi sebagai makhluk Tuhan yang disabdakan sebagai pemimpin jagad raya ini.
Saya melihat kebijakan FDS banyak dipandang dalam kacamata hukum positif . Demikianlah cara negara. Tetapi sesungguhnya, kebijakan FDS sejak awal mengabaikan etika berelasi dalam kehidupan berbangsa-saya tambah-berteman.
Ia yang merumuskannya tahu ada kelompok masyarakat yang mengabdikan diri pada jam ketika anak anak setelah bersekolah pada negara. Ia juga tahu madrasah diniyah adalah akses bagi orang miskin, ia juga tahu FDS adalah omong kosong model pendidikan karakter dan ia tahu madrasah diniyah adalah identitas pendidikan NU.
Bukankah kita mafhum ada banyak problem pendidikan yang mendasar, akses kelompok miskin. Bangunan sekolah yang reyot. Jarak yang berkilo-kilo, anak-anak harus menempuh mara bahaya, biaya yang mahal, buku-buku yang susah diakses, kekerasan di sekolah, hingga UAN yang tak berperikemanusiaan. Tapi pemerintah malah memilih membuat kebijakan yang tidak subtil. Jikapun sudah melakukan terobosan bagi problem akut di atas, akan lebih enak kalau itu yang di promosikan. Keberhasilan. Anggap saja kami pura-pura tidak tahu. Bukan sebaliknya, menerbitkan kebijakan yang tidak ada urusan dengan problem dasar pendidikan. Sebaliknya yang dihasilkan adalah energi konflik.
Saya agak malas mengomentari soal itu, lalu bagaimana dengan Presiden?Yang untuk duduk saja perlu tangan NU menyangga. Ini penyataan lebih tidak subtil lagi. Mungkin kita harus menjadi gila dulu baru paham, bahwa mustinya kebijakan seorang Menteri kudu diomong-omong dengan Presiden. Kalau warga hanya dianggap kerumunan pinggir jalan yang tidak paham problem fundamental, karenannya tidak perlu diajak omong. Nah kalau kebijakannya sudah keluar, adalah waras menjadi gila jika kita masih mempertanyakan hallo dimana Presiden.
Saya lebih tertarik mengomentari dari sisi ini. Ada etika berbangsa-berteman yang dilanggar. Kebijakan itu tidak keliru dalam perspektif kewenangan negara, Pak Mentari yang sedang memiliki kekuatan sebagai pengampu kebijakan. Justru karena sebagai negara ia menjadi sangat arogan dan bengis.
Salam Damai Raranggeuya.
Tidak ada komentar