PENDIDIKAN KESETARAAN TELADAN NABI MUHAMMAD
Oleh Irham Yuwanamu, Unisma Bekasi
Sering kali konflik sosial terjadi disebabkan karena adanya pembedaan sikap berdasarkan ras, agama, golongan, suku, budaya, bangsa, dan lainnya. Misalnya saja, konflik sosial karena adanya pembedaan ras kulit putih dan kulit hitam di Amerika Serikat. Ras kulit putih dianggap kelompok manusia yang lebih terhormat, lebih berkualitas, lebih tinggi derajatnya. Sebaliknya ras kulit hitam dianggap sekolompok manusia yang rendahan, tidak terhormat, tidak punya harga diri. Pembedaan ini bukan hanya dalam lingkup pergaulan di masyarakat, akan tetapi hingga pelayanan publik. Masyarakat berkulit hitam pada akhirnya menjadi terbelakang dan tertinggal. Konsep melting pot dan multikulturalisme yang belakangan berkembang di Barat dimaksudkan untuk mengatasi masalah tersebut.Fenomena serupa tentu dapat ditemukan di
berbagai negara dengan kasus yang berbeda, termasuk juga di Indonesia. Fenomena
yang akhir-akhir ini berkembang di Indonesia adalah rebut-ribut soal nasab Nabi
Muhammad. Ada sebagian orang yang mengaku dirinya berketurunan Nabi, merasa
dirinya terhormat dan lebih mulia dibanding lainnya yang tidak berketurunan
Nabi. Masyarakat diminta untuk menjunjung tinggi dirinya, jika ingin
mendapatkan syafaat Rasullullah. Sementara kelompok lainnya menggugat mereka,
karena itu bukan akhlak Nabi, bahkan hingga ada yang melakukan penelitian yang
kesimpulannya menggugurkan nasabnya. Polemik ini sangat ramai diperbincangkan
di berbagai platform media sosial.
Pada dasarnya yang dapat digaris bawahi
adalah konflik, pertengkaran sosial dapat dipicu dari adanya perasaan atau
anggapan paling baik, paling hebat, dan seterusnya sehingga di situ akan
terjadi jarak (gap) sosial. Perbedaan di Masyarakat memang suatu
keniscayaan namun pembedaan itu yang menyebabkan gap sosial akan
terjadi. Perbedaan suatu fakta sosial jika disikapi dengan benar maka akan
menjadi indah dan pembedaan itu satu sikap yang negatif, jika dilakukan akan
menimbulkan suasana yang tidak baik. Sikap membeda-bedakan berdasarkan status,
ras, agama, keyakinan, warna kulit dan lainnya, disebut dengan diskriminasi.
Tulisan ini tidak akan membahas secara
mendalam mengenai diskriminasi, faktor dan dampaknya, namun lebih
mempertanyakan tindakan pembedaan/diskriminasi yang dapat dilakukan oleh
siapapun, apakah dibenarkan oleh agama? Islam apakah menerima sudut pandang
yang menganggap manusia yang berkulit putih lebih terhormat dibanding lainnya,
atau misalnya orang yang berdarah biru, atau berketerunan Nabi lebih mulia?
Kesetaraan dalam al-Qur’an
Sekali lagi, perbedaan adalah
keniscayaan (sunatullah) yang terjadi dalam kehidupan di dunia. Manusia
ada laki-laki dan perempuan, kemudian agamanya, keyakinannya pun beda-beda, lalu
ras, warna kulit, marga, suku, bangsa dan bahasanya pun demikian. Di antara
mereka mana yang lebih mulia? Ini tentu pertanyaan mendasar yang dapat meresahkan.
Al-Quran surah An-Naḥl [16]:93 menyatakan
bahwa jika seandainya Allah menghendaki manusia hanya satu golongan/umat saja,
itu sangat memungkinkan dan mudah sekali bagi Tuhan. Namun nyatanya yang
terjadi Allah menciptakan manusia yang beragam dan berbeda. Berikut di bawah
adalah ayatnya.
وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً
وَّلٰكِنْ يُّضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَلَتُسْـَٔلُنَّ
عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Seandainya Allah
berkehendak, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Dia
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kamu pasti akan
ditanya tentang apa yang kamu kerjakan.”
Di ayat yang lain dalam surah Al-Ḥujurāt
[49]:13, Allah menegaskan bahwa manusia diciptakan dari jenis kelamin yang
berbeda yakni laki-laki dan perempuan, lalu keduanya menikah dan beranak-pinak
dan menjadi keluarga besar, lalu tersebar menjadi bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa. Secara eksplisit berikut ayatnya.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا
خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ
لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ
عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Ayat ini sangat jelas bahwa manusia itu
eksistensinya adalah beragam dan berbeda, namun di sini ada kata kunci yang
dapat dijadikan pegangan bahwa keragaman dan perbedaan itu tidak negatif,
melainkan positif. Kata kunci itu adalah li ta’arafu (salinglah
mengenal). Jika manusia saling mengenal, mereka akan saling memahami, kemudian
saling mengerti dan selanjutnya dapat saling menghormati. Meski masyarakat
berbeda akan tetapi kerharmonisan dapat terjadi di antara mereka karena ada
rasa saling-saling yang bermakna positif. Tidak setiap perbedaan menimbulkan
perpecahan, namun dapat juga menimbulkan keindahan karena adanya keharmonisan. Pelangi
itu indah karena ada perbedaan warna, jika warnanya sama tentu bukan pelangi
namanya. Oleh karenanya perbedaan dan keragaman tidak boleh menjadi alasan
untuk saling bertengkar dan membeda-bedakan, karena sudah ada petunjuk untuk
saling mengenal supaya terjadi keharmonisan.
Masih ayat yang sama, bahwa ayat
tersebut menunjukkan adanya sudut pandang yang objektif dari Allah terhadap
hambaNya. Ayat lanjutannya yakni, inna akramakum ‘inda Allahi atqakum (sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa).
Potongan ayat ini menggarisbawahi penjelasan ayat sebelumnya, bahwa keberadaan
manusia yang berbeda dan beragam yang memiliki kemulian bukan dari sisi bentuk,
seperti jenis kelamin, warna kulit, suku, marga, atau nasab, melainkan
perilaku, sikap dan akhlaknya. Ini yang disebut dengan ketakwaannya. Allah
melihat hambanya dari sisi substansi diri manusia, jika dia lebih bertakwa maka
dia lebih mulia, sekalipun dihinakan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kitab tafsir kontemporer seperti
tafsir al-Mishbah karya Profesor Quraish Shihab, Al-Ḥujurāt ayat 13 dinyatakan
sebagai ajaran yang mengandung prinsip dasar dalam pergaulan kepada semua
manusia, bukan hanya orang yang beriman. Indikasinya, ayat ini dimulai dari
seruan kepada manusia (ya ayyuha al-nas). Tafsir ayat ini menunjukkan bahwa derajat
semua manusia tidaklah berbeda baik yang laki-laki dan perempuan, antara suku
yang satu dan lainnya, bangsa yang satu dan lainnya. Jika manusia ingin lebih
mulia maka harus berusaha untuk meningkatkan ketakwaannya.
Semua manusia setara tidak ada yang
lebih mulia di antara mereka. Tafsir al-Mishbah lebih lanjut menegaskan bahwa
tidak wajar seseorang berbangga dan merasa lebih tinggi dari pada yang lain.
Oleh karena itu seseorang tidak perlu berbangga dan tidak perlu rendah diri
dari siapa dan di mana mereka dilahirkan dan tumbuh besar. Allah maha objektif
melihat hambaNya. Usaha yang perlu dilakukan untuk dapat dibanggakan adalah peningkatan
kualitas diri seseorang dalam bentuk akhlak yang mulia, penguasaan ilmu pengetahuan
dan ketakwaan.
Dengan demikian ayat ini dapat diambil
pelajaran bahwa manusia sebaiknya tidak perlu melakukan pembedaan kepada
sesamanya. Menilai seseorang harus lebih objektif, bukan subjektif yang dapat
dipengaruhi dari latar belakang seseorang. Sebaiknya seseorang saling
berlomba-lomba meningkatkan kualitas diri bukan saling membanggakan status
sosialnya. Melihat seseorang mana yang lebih mulia bukan dari tampilan,
keluaraga, kekayaan atau latar belakangnya, akan tetapi dari subtansinya yakni
kualitas diri. Jika hal ini dapat dilakukan maka dalam kehidupan bermasyarakat,
orang akan saling menghargai, saling menjunjung tinggi satu sama lainnya dan
tidak saling merendahkan atau gila kehormatan.
Pelajaran dari Nabi
Nabi Muhammad sangat tidak suka dengan
sikap yang membeda-bedakan seseorang (diskriminatif) berdasarkan status sosial,
golongan, jenis kelamin, suku, dan pembedaan lainnya. Nabi Muhammad melihat
seseorang dengan cara yang objektif, seperti halnya Allah melihat hambaNya.
Prinsip kesetaraan manusia adalah yang dipegang oleh Nabi Muhammad dalam
kehidupan bermasyarakat. Banyak contoh-contoh perilaku Nabi yang menggambarkan
hal demikian.
Suatu ketika Nabi Muhammad memerintahkan
keluarga besar/bani Bayadhoh untuk menikahkan budak laki-laki kepada perempuan
dari anak/keluarga mereka, meski seruan ini mendapatkan penolakan karena
pernikahan dengan budak yang dianggap rendahan. Dalam satu kasus yang lain
bahwa Nabi memerintahkan sahabat Bilal pada saat Fathu Makkah untuk naik
di atas Ka’bah menyerukan adzan. Namun salah satu sahabat lain protes bahwa
yang pantas naik ke ka’bah bukanlah dari kelompok keluarga yang berkulit hitam
seperti Bilal. Kedua cerita ini sangat masyhur dijelaskan oleh al-Qurtubi dalam
tafsirnya. Quraish Shihab dalam al-Mishbah juga menjelaskan riwayat tersebut.
Dua cerita di atas menggambarkan bahwa
kebiasaan masyarakat Arab pada waktu itu suka membeda-bedakan seseorang
berdasarkan status sosial, namun Nabi Muhammad tidak suka dengan hal ini. Nabi
menilai seseorang lebih objektif dan bukan diskriminatif. Para ulama
menjelaskan bahwa cerita itu yang mendasari ayat 13 surah Al-Ḥujurāt turun.
Ayat ini menjadi asbab nuzul untuk mempertegas sikap Nabi Muhammad
tentang kesetaraan manusia. Quraish Shibab menyatakan bahwa apapun, asbab
nuzul dari Al-Ḥujurāt ayat 13, yang jelas yaitu adanya kesatuan asal-usul
manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat manusia.
Selain cerita di atas yang menunjukkan ajaran
kesetaraan Nabi, yaitu khutbahnya yang disampaiakan pada saat haji wada’. Dalam
kesempatan haji wada’ Nabi menyampaikan khutbah yang isinya persatuan,
kerukunan, termasuk kesempurnaan agama. Secara khusus yang berkaitan tentang
kesetaraan, Nabi mengatakan (berkhutbah) yang artinya sebagai berikut.
“Hai sekalian
umat manusia, sesungguhnya Tuhanmu itu satu. Ingatlah! Orang Arab tidak
memiliki keistimewaan di atas non-Arab, non-Arab juga tidak memiliki keistimewaan
atas orang Arab; Orang putih memiliki keistimewaan di atas orang hitam, tidak
pula orang hitam memiliki keistimewaan di atas orang putih; melainkan dengan
takwa. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah
orang yang paling bertakwa”
Khutbah Nabi di haji wada’ sebenarnya
ingin menegaskan kembali maksud dari Al-Ḥujurāt ayat 13 agar umat Islam tidak
lagi melakukan diskriminasi atau merasa paling unggul karena asal-usulnya. Dalam
hal ini secara tegas Nabi memiliki sikap dan menjunjung tinggi kesetaraan dalam
melihat manusia dan ingin menghilangkan kesan diskriminatif yang sudah lama ada
dalam kehidupan masyarakat waktu itu. Al-Ḥujurāt ayat 13 adalah memperkuat
prinsip kesetaraan yang dilakukan oleh Nabi dan ini menjadi petunjuk agar semua
manusia dapat meniru dan melakukannya.
Prinsip Kesetaraan sebagai
Prinsip Universal
Prinsip kesetaraan yang sudah dijelasan
di atas merupakan prinsip Islam dalam memandang hubungan manusia dengan
sesamanya. Prinsip ini ada sejak sejarah perkembangan Islam itu sendiri, dan
melekat pada diri Nabi Muhammad. Dengan demikian pertanyaan di awal tulisan
telah terjawab, bahwa ajaran al-Qur’an dan teladan Nabi Muhammad menunjukkan
bahwa derajat semua manusia adalah sama, tidak ada yang lebih mulia di antara
mereka melainkan kemuliaan itu ditentukan dari kualitas dirinya dengan
ketakwaan. Semua orang tidak boleh saling merendahkan atau merasa paling
terhormat dengan menuntut orang lain untuk menghormatinya. Semua orang dianjurkan
untuk saling mengormati, saling menghargai, saling menjunjung tinggi harkat dan
martabat kemanusiaan, saling membantu, dan saling bekerjasama. Ini yang dapat
dikatakan saling-saling yang bermakna positif di antara manusia. Dengan seperti
ini kehidupan manusia tidak akan ada pertengkaran, konflik, dan saling tenggang
rasa meski terjadi perbedaan.
Prinsip kesetaraan bukan hanya diajarkan
dalam Islam dan teladan Nabi Muhammad, melainkan sudah menjadi prinsip
umum/universal semua agama dan semua bangsa. Pada 26 Juni 1945 telah disepakati
perjanjian oleh 50 negara di dunia mengenai kedamaian dan agar saling membantu
antar bangsa-bangsa. Ini yang disebut dengan Charter of The United Nation/Piagam
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Piagam ini mulai diberlakukan pada 24 Oktober
1945. Salah satu isi dari perjanjian ini adalah menghormati hak asasi manusia
sekaligus menjaga persaudaraan antar bangsa. Isi perjanjian ini sangat jelas
menjunjung tinggi hak dasar manusia, tidak boleh saling merendahkan di antara
mereka. Pada prinsipnya adalah kesetaraan manusia yang menjadi kesepakatan
bersama, sehingga tidak boleh ada yang superior dan inferior.
Di samping itu pada tahun 1960-an di
Barat berkembang konsep yang diawal tulisan telah disinggung yaitu
multikulturalisme. Konsep ini diantaranya upaya untuk mengatasi persoalan
sosial yang diakibatkan karena pembedaan masyarakat. Multikulturalisme secara
umum dimaknai sebuah sudut pandang yang mengakui dan menghormati adanya
keragaman dan kemajemukan di masyarakat dan tidak saling menafikan di
tengah-tengah keragaman tersebut. Faham ini cukup diterima di masyarakat yang
sebelumnya menggunakan melting pot untuk menyikapi keragaman dan
kemajemukan. Multikulturalisme terus berkembang hingga menjadi kebijakan negara
dan masuk ke ranah pendidikan. Pendidikan yang memperjuangkan nilai-nilai
multikulturalisme seperti, menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesetaraan
manusia, demokrasi, toleransi, kebebasan disebut dengan pendidikan
multikultural. Konsep ini juga diterima di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Tidak ada komentar