Kelebihan dan Kelemahan Rapor Merdeka Belajar
Oleh Iftah Risal
Rapor pendidikan yang jadi programnya Menteri Pendidikan Nadim Makarim saat ini, cukup bagus. Situasi sekolah terpotret oleh Asesmen Nasional. Tidak hanya memotret ada di titik mana kemampuan rata-rata anak, namun juga kualitas sekolah di mana anak itu belajar.
Hasil potret itu termaktub dalam Rapor Pendidikan yang dilampiri saran pembenahan di tahun berikutnya. Lengkap pula dengan poin anggaran BOS yang bisa dipakai untuk pembenahan tersebut. Tagline-nya bagus dan simpel, yakni; #BenahiSesuaiKebutuhan.
Namun ada juga sisi kelemahan yang patut untuk menjadi perhatian dan perbaikan. Pertama, celah waktu antara asesmen dan pembenahan. Asesmen dilakukan tahun 2022, hasil keluar tahun 2023, lalu baru bisa implementasi di tahun 2024. Ada gap year di sana. Ini tentu cukup lama. Andaikan bisa dipotong mungkin lebih ideal. Artinya yang kurang baik di tahun 2022 bisa langsung dibenahi di 2023. Tidak perlu nunggu 2 tahun.
Kedua, proporsi populasi data. Saya kira rasio 30 murid sebagai sampel untuk 500 murid yang lain; tidak setara dengan 30 untuk 90 murid. Negara masih memukul rata populasi data anak untuk seluruh sekolah.
Ketiga, Anda bisa lihat sendiri. Bagaimana mau diskusi kalau kolom chat isinya cuma spam: nama_asalsekolah_hadir/nyimak. Dan itu terus menerus dari awal sampai bubaran. Yang mau usul, kritik, atau sebatas menyampaikan kendala; tenggelam oleh spam.
Tapi jangan salahkan mereka. Fenomena itu lumrah di hampir semua webinar pemerintah. Mengapa? Karena mereka tidak merdeka dalam memutuskan ikut atau tidak. Slogan #merdekabelajar belum sepenuhnya terwujud.
Tidak ada komentar