Permenpan-RB no 1 Tahun 2023 tentang Dosen, Kemunduran ?
Sepertinya
Permenpan dan RB yang baru saja diluncurkan oleh MenpanRB khususnya bab
perdosenan merespons fenomena perjokian ilmiah yang ramai dibahas media
nasional sebelumnya, tentu masalah yang lain juga ada. Setelah PermenpanRB terbit
sekarang bisa kita saksikan banyak respons negatif oleh para dosen di media
nasional maupun di media sosial.
Banyak
kritik yang dilancarkan oleh para akademisi tentang aturan baru itu. Kalau
Burhanudin Muhtadi membikin twit kalau kerjaan dosen tidak menarik lagi. Karir
menjadi profesor akan lama. Kritikan lain sepertinya membuat produktifitas
ilmiah dosen akan menurun, terutama publikasi internasional.
Kalau
dilihat aturannya memang mengarah demikian, kenaikan pangkat/ jabatan dosen
bukan karena kecukupan angka kredit yang dihasilkan dari keproduktifisannya.
Namun, kenaikan pangkat didasarkan pada jenjang waktu kerja. Untuk menjadi
Professor bisa 28 tahun dari pangkat terendah. Makanya ini akan membuat dosen
kurang menarik, jenjang karir menjadi lama. Bahkan bisa jadi jabatan profesor
akan dibatasi di setiap kampus, atau setiap keahlian tertentu saja. Ini
diantara yang saya dengar saat menyimak via YouTube sosialisasi
kenaikan pangkat dosen yang diselenggarakan oleh UIN Jakarta tidak lama ini.
Jika
dibandingkan aturan lama dengan aturan yang baru tentang Dosen, saya menilai
lebih progresif aturan yang lama. Dosen ada kesempatan akselerasi dan didorong
untuk publikasi kelas internasional (produktif ilmiah). Dari aturan ini
publikasi internasional dari dosen meningkat tinggi. Dosen berlomba-lomba untuk
yang terbaik, kalau ada kesempatan akselerasi ke jabatan yang lebih tinggi
mengapa tidak? Di sini dosen setidaknya dapat berupaya yang terbaik.
Namun
sering kali dosen merasa keberatan dengan prasyarat aturan lama tersebut untuk
kenaikan pangkat. Sehingga muncul jalan pintas perjokian jurnal. Ini sebenarnya
masalah sistem apa mental akademisinya sih? Banyak artikel ilmiah internasional
hasil dari perjokian, tempel nama tak ada kontribusi, plagiat, dan seterusnya.
Kompas, dan media nasional lagi nya secara berturut-turut memberitakan hal ini. Jika ada masalah demikian apakah yang salah sistemnya? Hemat penulis yang menjadi fokus masalah adalah mental dosennya. Mengatasi ini tentu bukan mendekonstruksi sistemnya, solusi yang dapat diperbaik jangka menengah dan panjang dengan membentuk budaya akademik di tingkat program pascasarjana (S2 dan S3).
Memang
kadang memusingkan kepala, dikasih aturan yang progresif memberatkan, lalu
diubah sistemnya juga demikian, banyak protes. Kata Mun'im Sirry
dalam postingannya dikasih aturan ini, itu selalu ribut. Entah maunya apa ya.
Selalu ribut. Tapi yang jelas merubah sistem ini tidak mengobati masalah tapi
menambah masalah. Sistem progresif yang bagus digantikan dengan PermenpaRB n0.1 Tahun 2023 menurutnya saya mengalami kemunduran.
Tidak ada komentar