Peran Pendidikan Islam terhadap Aliran Pemikiran dalam Islam
Oleh Irham Unisma Bekasi dan Zakaria H. Lubis PTIQ Jakarta
Aliran
pemikiran keagamaan tumbuh berkembang tidak terlepas dari peran pendidikan
Islam, meskipun bukan satu-satunya. Aspek sosial budaya dan politik juga ikut
memiliki kontribusi dalam pembentukan aliran keberagamaan.
Liberalisme
dan penantangnya yang sering disebut dengan anti liberal atau sebagai bentuk
fundamentalisme agama merupakan dua aliran pemikiran hukum Islam (Islamic
legal thinking). Untuk kasus di Indonesia dua aliran pemikiran ini
terbentuk bukan hanya dari aspek pendidikan akan tetapi dengan aspek lainnya.
Latar belakang sosial-budaya yang membangun komunitas epistemik yang ada di
perkotaan ikut terlibat dalam menciptakan pemikiran tersebut. Pola pemikiran
Islam liberal terbentuk dari kombinasi pendidikan tradisional dan modern dalam
kajian keislaman dengan disiplin ilmu lain yang disertai dengan interaksi
masyarakat urban di perkotaan. Karakteristik dari kelompok liberal ini
dihadapkan atas orientasi idiologi sekuler. Artinya adalah pengembangan pemahaman
keislaman mereka dilakukan secara tertentu yang memiliki satu frekuansi yang
sama dan bukan seperti dakwah konvensional. Dengan seperti ini pemikiran Islam
liberal yang dikembangkan dapat terus tumbuh.
Berbeda
dengan kelompok anti liberal (kelompok fundamentalisme) yang terbentuk dari
sebuah pembelajaran tradisional atau modern tanpa ada kombinasi yang diperkuat
dengan bertemunya kepada masyarakat muslim perkotaan yang memiliki orentasi
Islam idiologis. Mereka terbentuk ke dalam komunitas epistemik yang
berseberangan dengan komunitas muslim liberal.[1]
Penjelasan ini sebenarnya menunjukkan adanya pola yang sama di antara
terbentuknya kedua kelompok di atas. Keduanya sama-sama dilatarbelakangi dari
dunia pendidikan kemudian ditambah dengan tergabungnya masyarakat yang memiliki
orientasi yang sama atau ketertarikan yang sama atas ide-ide itu serta tumbuh
bersemai dalam satu komunitas yang sama pemahamannya. Latar belakang pendidikan
adalah yang mendasari awal cara berpikir masing-masing kelompok yang
selanjutnya dapat menentukan aliran pemikiran yang harus diikuti, meskipun ini
tidak selamanya karena suatu saat mereka bisa berpindah.
Bentuk pendidikan
yang melahirkan dua aliran pemikiran tersebut memiliki model pengajaran dan
orientasi yang benar-benar kontras. Model pendidikan yang dikembangkan oleh
kelompok Islam liberal dikatakan sebagai model akademik. Model pendidikan ini
berorientasi atas pengembangan dan perluasan ilmu pengetahuan, kemudian
menggunakan pendekatan kritis untuk membuat analisa-analisa, menyajikan beragam
pandangan pemikiran yang selanjutnya hasil pendidikan (outcome) melahirkan
alumni atau individu yang otonom dan mampu berpikir mandiri. Model pendidikan
ini biasanya dikembangkan oleh lembaga pendidikan/ perguruan tinggi agama
(universitas) dengan orientasi pengebangan ilmu pengetahuan dan pengembangan
skill anak didik.
Sedangkan
model pendidikan yang dikembangkan oleh kelompok Islam fundamentalis disebut
dengan model ideologis. Model ini memprioritaskan mengaji al-Quran, hadis, dan
sumber-sumber ilmu Islam klasik serta belajar bahasa Arab. Otoritas penuh yang
boleh menjelaskan atau mengajarkan ilmu tersebut adalah ulama atau sang guru.
Nalar kritis tentu tidak diajarkan di sini. Tujuan dari pendekatan ini
melahirkan muslim yang taat dan menolak kritisisme anak didik.[2] Contoh
model pendidikan ini misalnya madrasah atau pesantren (lembaga pendidikan
Islam) dengan corak purfikasi agama.[3]
Output
yang dihasilkan dari dua model pendidikan ini berdampak kepada sikap mereka
secara sosial. Model pendidikan idiologis lebih cendrung berbaur kepada
masyarakat dan memiliki sopan santun yang luar biasa kepada figur seorang guru
yang mengajarkan ilmu keislaman seperti ustadz, kiai atau habaib. Fenomena ini
bisa dilihat bagaimana penghormatan mereka terhadap guru dengan cara mencium
tangan agar mendapat berkah, melepaskan sandal saat berziarah ke makam para
ulama atau kiai yang dikeramatkan, berdiri dan berhenti sambil menundukkan
kepada ketika berpapasan jalan dengan guru. Otoritas guru beserta wewenangnya
dalam memilih ilmu pengetahuan menguatkan legitimasi doktrinnya terhadap
murid-murid.[4]
Sebenarnya
model pendidikan idiologis tidak mesti melahirkan cara beragama fundamentalis, tetapi
bisa juga melahirkan kelompok yang tradisionalis atau konservatif.
Masing-masing kelompok ini berbeda karakternya, sebab kelompok tradisionalis
dan konservatif tidak memiliki doktrin khilafahisme atau jihadisme seperti
fundamentalisme. Model pendidikan yang mengarah pada fundamentalisme dapat
dikatakan model pendidikan idiologis-purifikasi. Model ini berupaya membatasi
bahan bacaan, dan menyediakan buku yang boleh dibaca saja. Doktrin purifikasi,
khilafahisme, jihadisme selalu ada, dan tidak ketinggalan doktrin tentang al-wala’
wa al-barra’. Doktrin yang terakhir ini yang selanjutnya menjadi benih
idiologi takfiri. Pada dasarnya aspek akidah adalah yang menjadi tumpuan
model pendidikan ini. Model keberagamaan yang lahir dari pendidikan ini adalah salafi
puris, salafi haraki, dan salafi jihadi (yang suka memerangi
yang berbeda pandangan). Istilah lain dari model ini adalah model pendidikan manhaj
salafi.[5]
Pendidikan Islam di Indonesia yang berorientasi ke arah sana (liberalisme atau
fundamentamentalisme) tentu ada meskipun tidak banyak, sebab kelompok ini masih
tergolong minoritas.
Selanjutnya
terkait dengan pemikiran hybrid juga dikembangkan dalam dunia pendidikan
Islam. Pendidikan pesantren meskipun ragamnya banyak termasuk adanya pesantren
haraki/ manhaj salafi, namun secara umum (mainstream) diakui mampu melahirkan
keberagamaan yang moderat-inklusif sebagai karakter dari pemikiran hybrid.
Pendidikan ini dapat dilihat sebagai pencerahan konteks sosial-budaya dan juga
dapat dipengaruhi karena realitas sosial seperti misalnya berkembangnya faham
fundamentalisme dan liberalisme agama. Prisnsip yang melekat di dalamnya adalah
kebersamaan, keadilan/ keseimbangan, toleran yang mengarah pada pembebasan
sosial. Pada dasarnya dinamika pendidikan ini tidak terlepas dari faktor sosial
yang berkembang. Peran pesantren ini terjadi sejak beberapa abad lalu yang
selanjutnya menjadi local wisdom sebagai benteng moral masyarakat atas
masalah sosial keagamaan.[6]
Kyai
Sahal Mahfudh yang merupakan representasi dari orang pesantren telah menegaskan
bahwa pesantren menjadi titik temu dari berbagai aliran pemikiran keislaman
terutama pemikiran akidah jabbariah dan qadariah. Pengasuh
pesantren yang mayoritas memiliki faham Aswaja (ahlun
al-sunnah wa al-jama>‘ah) selanjutnya yang mewarnai corak keislaman
pesantren. Corak pemikiran aswaja adalah jalan tengah. Namun tujuan utama
pesantren bukan untuk melahirkan aliran aswaja dari tokoh pendirinya melainkan
melahirkan pribadi islami yang aktif.[7] Dengan
demikian pesantren sangat terbuka dan menjadi titik temu dari pemikiran
keislaman yang ada yang diaggap saling berlawanan. Prinsip yang melekat di
pesantren yaitu al-muh}a>fad}atu ‘ala> qadi>m al-s}a>lih, wa
al-akhdhu bi al-jadi>d al-as}lah} termasuk juga yang menjadi
prinsip titik temu ini (prinsip pemikiran hybrid). Menurut Lukens Bull
pesantren mampu mempertemukan tradisi dan kemoderenan.[8]
Penjelasan
di atas mempertegas bahwa pendidikan Islam menjadi aspek yang kuat untuk
membentuk tipologi keberagamaan termasuk dinamika pemikiran keislaman kontemporer
yang telah dijelaskan sebelumnya. Perlu digarisbawahi juga bahwa corak
pendidikan Islam itu beragam orientasi dan model pengajarannya. Hemat penulis,
model hybrid tentunya yang menarik untuk dieksplorasi lebih jauh yang
selanjutnya dapat melahirkan pola pemikiran dan pola keberagamaan yang hybrid.
Keterangan: Tulisan ini diterjemahkan dari artikel berbahasa Inggris yang berjudul, "THE DYNAMICS OF CONTEMPORARY ISLAMIC THINKING AND THE ROLE OF EDUCATION: Islamic Fundamentalism, Opponents, and Hybrid Thought" yang terbit di jurnal Al Tahrir vol.12 no.1. Untuk versi aslinya dan artikel utuh bisa unduh di sini.
Sumber rujukan:
[1] Akh.
Muzakki, “IS EDUCATION DETERMINANT? The Formation of Liberal and Anti-Liberal
Islamic Legal Thinking in Indonesia,” JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM 1, no.
2 (December 1, 2007): 280, doi:10.15642/JIIS.2007.1.2.280-322.
[2] Cox,
Marks, and Institute for the Study of Civil Society, The “West”, Islam and
Islamism, hal. 27-28.
[3] Din Wahid, “Nurturing The
Salafy Manhaj: A Study of Salafi Pesantrens In Contemporary” (Utrecht
University, 2014).
[4] Mohammad
Muchlis Solichin, “Interrelation Kiai Authorities, Curriculum and Learning
Culture in Pesantren Indonesia,” TARBIYA: Journal of Education in Muslim
Society 5, no. 1 (October 21, 2018): hal. 87-100,
doi:10.15408/tjems.v5i1.7781.
[5]
Irham Irham, “PESANTREN MANHAJ
SALAFI: PENDIDIKAN ISLAM MODEL BARU DI INDONESIA,” ULUL ALBAB Jurnal Studi
Islam 17, no. 1 (May 25, 2016): 1–18, doi:10.18860/ua.v17i1.3252; Wahid,
“Nurturing The Salafy Manhaj: A Study of Salafi Pesantrens In Contemporary.”
[6]
Ahmad Fauzi, “KONSTRUKSI MODEL
PENDIDIKAN PESANTREN: Diskursus Fundamentalisme Dan Liberalisme Dalam Islam,” Al-Tahrir:
Jurnal Pemikiran Islam 18, no. 1 (June 11, 2018): 85,
doi:10.21154/altahrir.v18i1.1161.
[7]
MA. Sahal Mahfudh, Pesantren
Mencari Makna, ed. Marwan Ja’far, 1st ed. (Jakarta: Pustaka Ciganjur,
1999), 50–57.
[8] Ronald A. Lukens-Bull, “Two Sides of the Same Coin: Modernity and Tradition in Islamic Education in Indonesia,” Anthropology <html_ent Glyph="@amp;" Ascii="&"/> Education Quarterly 32, no. 3 (September 2001): 350–72, doi:10.1525/aeq.2001.32.3.350.
Tidak ada komentar