Belajar Hingga Doktor: Pada Mulanya Adalah Alif
Oleh Yoyo Hambali, Dosen Syariah Unisma Bekasi
Bila ada penelitian mengenai tradisi mengaji bada magrib anak-anak sebelum tahun 90-an dan sesudah tahun 90-an, saya yakin kesimpulannya tradisi itu secara umum sudah mengalami penurunan atau degradasi. Jangankan di perkotaan di pedesaan pun tradisi itu sudah jarang ada.
Bukan berarti tidak ada, di beberapa tempat tradisi itu masih dipelihara dengan baik. Hanya saja, bila dibandingkan dengan sebelum tahun 90-an, ketika media telekomunikasi dan informasi seperti televisi masih sangat terbatas, kita akan menemukan tradisi mengaji anak-anak itu ada di mana-mana terutama di kampung-kampung.
Kini, setelah di setiap rumah tersedia televisi dengan berbagai stasiun tv swasta dengan berbagai tayangan yang menyita perhatian dari anak-anak sampai orang dewasa, ditambah adanya handphone, maka tradisi mengaji sudah digantikan oleh tradisi menonton televisi dan bermain handphone.
Karena itu, tidaklah mengherankan bila beberapa data menyebutkan tingkat buta huruf Al-Qur'an di negeri ini masih sekitar lebih dari 50%. Salah satu faktor penyebab tingginya tingkat buta huruf Al-Qur'an barangkali karena hampir lenyapnya tradisi mengaji tersebut. Walaupun tentu banyak faktor lainnya. Perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor penyebab masih rendahnya tingkat melek huruf Al-Qur'an.
Sebagai generasi yang mengalami kebiasaan mengaji bada magrib, bahkan bakda subuh, saya dan anda barangkali beruntung. Sehingga, dengan tidak bermaksud bersombong diri, kemampuan membaca Al-Qur'an saya boleh bertanding dengan anak-anak sekarang (terutama yang masih ngaji Iqra.
Kalau tidak salah ingat, saya mulai mengaji pada usia lima tahun pada nenek saya yang rumahnya berhadapan dengan rumah orang tua saya. Pada usia itu saya belajar mengaji dengan menggunakan buku Alif Ba Ta Tsa, dst., dengan metode "mengeja".
Sekarang saya tahu metode yang digunakan itu namanya metode Baghdadiyah. Buku yang digunakan untuk belajar mengaji itu, saya tidak tahu siapa pengarangnya, karena cover-nya sudah hilang, terdiri dari satu jilid saja. Saya mengaji dengan dituntun Nenek.
Pertama-tama nenek membacakan huruf hijaiyah mulai dari Alif sampai dengan Iya (Ya), lalu saya mengikuti membacanya dengan dituntun nenek sambil mengikuti penunjuk atau "tutunjuk", yang terbuat dari bambu yang diraut sampai halus.
Kata nenek, saya itu "calakan" (cerdas) karena sekali dituntun langsung hapal sehingga dengan cepat bisa dilanjutkan kepada huruf-huruf yang sudah dirangkai mulai dari dua huruf sampai rangkaian yang makin banyak dan sudah ada baris atau harkatnya. Harkatnya itu ada "jabar" (fathah), "jeer" (katsrah) dan "pees" (dhamah).
Misalnya kata "uhiba" yang terdiri dari tiga huruf a-h-b dibaca alif pees u, h jeer i, ba jabar a. Kalau sekarang dibaca alif dhamah u, ha katsrah i, ba fathah a. Belakangan juga saya baru tahu kalau harkat "jabar", "jeer" dan "pees" itu berasal dari bahasa Persia, sedangkan "fathah", "katsrah" dan "dhamah" dari bahasa Arab.
Belajar mengaji pada nenek harus berhenti selamanya, karena pada suatu hari ketika saya sekolah, waktu kelas satu SD, saya dijemput Bapak, harus pulang. Bapak tidak menyebutkan ada kejadian apa.
Namun sesampai di rumah ternyata nenek sudah meninggal. Tentu saja saya sangat kehilangan. Nenek bukan saja mengajar mengaji tetapi juga tempat saya bertanya. Saya sangat dekat dengannya, dalam obrolan-obrolannya nenek sering menyampaikan ungkapan-ungkapan yang sekarang saya pahami sebagai pelajaran agama.
Setelah nenek meningggal saya melanjutkan mengaji pada Uwa yang masih kerabat yang rumahnya juga bersebelahan dengan rumah orang tua saya. Kalau belajar mengaji sama nenek saya sendirian, sedangkan di Uwa itu sudah banyak teman-teman yang umumnya seusia saya, sekitar dua puluh orang. Saya masih ingat bagian tengah rumah uwa yang agak luas penuh oleh anak-anak yang mengaji.
Di antara anak-anak seusia saya itu ada yang masih alif-alifan, dan ada yang sudah sampai juz 'amma, termasuk saya. Saya masih ingat ada kejadian lucu. Sebelum mengaji anak-anak diharuskan berwudu dan selama memegang Al-Qur'an harus menjaga agar tidak batal wudu.
Teman saya pergi keluar mengajak saya dan beberapa teman katanya pingin buang air kecil. Dulu buang air kecil di halaman rumah saja. Teman saya itu, namanya AH, setelah buang air kecil dia mengaji lagi dengan tidak berwudu. Lalu teman-teman saya yang lain bilang pada uwa si AH, habis buang air tidak megambil wudu lagi.
Lalu si AH bilang, waktu buang air kecil dia tidak memegang kemaluannya, jadi wudunya tidak batal. Dikiranya buang air kecil itu tidak membatalkan wudu, asal tidak memegang kemaluannya. Saya dan teman-teman yang lain tertawa terpingkal-pingkal.
Bersama teman-teman yang sudah tamat Juz 'Amma, saya boleh pindah ke Al-Qur'an. Sebenarnya Juz Amma itu bagian dari Al-Qur'an, yaitu juz yang ke-30. Tapi karena, mengaji Juz 'Amma ada bukunya tersendiri yang tipis. Sedangkan Al-Qur'an buku/kitabnya gede.
Saya boleh mengaji kitab yang gede itu (Al-Qur'an). Mengaji Al-Qur'an mudah saja karena, waktu itu, siapa saja yang sudah bisa Juz 'Amma dijamin bisa membaca Al-Qur'an. Setelah tamat Juz 'Amma itu, saya mengaji Al-Qur'an kepada Wa Idi (masih kerabat juga).
Dalam waktu yang tidak begitu lama saya menamatkan Al-Qur'an di bawah bimbingan Wa Idi. Wa Idi seperti nenek saya sering memuji saya sebagai anak "calakan" (sekali diajarin langsung bisa).
Setelah tamat Al-Qur'an lalu diadakan khataman bersama murid-murid ngaji yang lain, anak-anak saudara dan tetangga yang sudah sama-sama tamat. Khataman dilangsungkan di rumah nenek dari pihak bapak, sekalian pernikahan salah seorang paman saya.
Setelah khatam Al-Qur'an, saya melanjutkan mengaji kepada Aki Lebe (Amil, Kepala Urusan Kesra di desa saya yang juga masih keluarga dekat). Selain mengulang belajar Al-Qur'an, diberikan juga pelajaran-pelajaran lain seperti ilmu tajwid, parukunan (Rukun Iman, Rukun Islam), cara-cara ibadah terutama shalat, dan sebagainya.
Seingat saya, mengaji kepada Aki Lebe, sangat menyenangkan. Sebabnya, selain pelajaran dengan menggunakan metode nadloman (syair-syair), juga teman-teman lain sudah agak besar, menjelang remaja. Saya masih ingat menghapal jenis-jenis malaikat berikut tugas-tugasnya dengan nadoman yang dibaca bersama-sama sampai rumah gemuruh suara anak-anak.
Setelah dari Aki Lebe, saya belajar ngaji Qira'at dan Kitab pada Ajengan (Kyai) Didin, yang dipanggil murid-muridnya Mang Didin. Mang Didin anak Wa Idi dan sudah tamat nyantri di pesantren kurang lebih sepuluh tahun. Bada Maghrib sampai ba'da isya belajar Qiro'at, melanjutkan belajar ilmu tajwid berikut makharijul huruf, dan pelajaran lainnya. Sedangkan bada subuh, seingat saya belajar kitab.
Belajar mengaji pada Mang Didin tidak begitu lama, saya pindah ke Mang Didi (Ajengan Didi) karena rumahnya lebih dekat dengan rumah saya. Kemudian melanjutkan mengaji pada Mang Iif (Ajengan IIf). Beliau juga masih kerabat saya, yg menurut bapak saya, beliau aki saya.
Tapi karena masih muda saya memanggilnya mamang (paman) seperti santri-santri yang lain. Sekarang beliau sudah almarhum, semoga Allah menempatkan pada tempat yang mulia.
Kepada mang Iif itu saya meneruskan ngaji Qiro'at dan kitab. Beliau beberapa kali juara MTQ (Musabaqah Tilawah Al-Qur'an) sampai ke tingkat propinsi. Beliau melihat saya ada potensi karenanya saya terus digembleng belajar qiro'at bersama teman-teman yang lain yang "suaranya bagus'.
Di bawah gemblengan Mang Iif itu, saya mendapakan juara tingkat desa sekaligus wakil di kecamatan untuk tingkat anak-anak. Pada waktu SMA menjadi wakil kecamatan untuk tingkat Kabupaten. beberapa kali saya mewakili MTQ tingkat kabupaten untuk tingkat remaja. Hanya saja sekarang, saya sudah tidak bisa mengaji gaya MTQ seperti dulu. Nafas saya sudah tidak sepanjang dulu.
Selain Qira'at, saya belajar kitab. Biasanya bada subuh. Jadi yang mau ngaji kitab harus bangun sebelum azan subuh. Shalat subuh di masjid dilanjutkan mengaji di madrasah yang letaknya sebelahan dengan masjid. Kitab yang dipelajari antara lain Tijan al-Dharuri untuk bidang 'aqidah dan Safinah al-Naja untuk bidang fiqih.
Mengaji kitab baru pada "matan" atau pinggiranyan belum pada "syarah" atau komentarnya. Saya mengaji kepada Ajengan Iif itu sampai tamat SMP. Pagi sampai siang sekolah, sore, malam dan subuh belajar mengaji.
Tamat SMP saya melanjutkan ke SMA di kota. Waktu SMA itulah saya berguru pada Ajengan Deden (nama lengkapnya K.H. R. Aminudin). Sekarang sudah almarhum. di pesantren Ajengan Deden saya lebih sering jadi asisten beliau karena beliau sering bepergian. Murud-muridnya dari usia anak-anak sampai remaja. Sebagai remaja saya senang menjadi asisten ajengan karena kebanyakan santri-santrinya perempuan.
Setamat SMA saya masih mengaji kepada beberapa guru dan mulai tambah wawasan dengan membaca berbagai kitab dan buku. Apalagi saat kuliah, saya menjadi keranjingan membaca buku. Buku-buku mengenai Islam dengan berbagai studinya (Islamic Studies), saya lahap.
Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqih dan Ushulnya, Ilmu2 Al-Qur'an dan Ilmu2 Hadits, Tarikh, Tafsir dll. sangat gandrung saya pelajari. Juga ilmu-ilmu sosial. Saya usahakan juga membeli berbagai buku dan kitab-kitab klasik buat memperdalam studi-studi keislaman.
Walaupun saya banyak membaca buku dan kitab dan saya telah belajar mengaji dari sejak kecil dari banyak guru, tidak berarti saya menjadi orang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu agama. Di sini saya hanya bercerita pengalaman saya mengaji yang sampai sekarang juga masih mengaji. Semua itu pada mulanya dari Alif dan sampai sekarang belum selesai. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar