Literasi Digital, Bekal Pelajar Membangun Peradaban Global
Foto: dreamtech |
PURISDIKI - Meski akses ke himpunan pengetahuan semakin mudah dengan internet dan perangkat cerdas, tidak berarti netizen terhindar dari wabah misinformasi. Justru dengan membanjirnya versi dari satu topik yang tersedia secara bersamaan akan membuat fokus pikiran seseorang menjadi buyar.
Nah, saat pikiran buyar, emosi menjadi rentan dipermainkan dan keyakinan pun mudah digoyahkan. Hal ini efeknya bisa berdampak lebih parah pada pelajar. Mereka, yang digolongkan sebagai Digital Natives, perlu dibimbing dan dibekali filter untuk menghadapi situasi tersebut.
Pelajar di usia remaja masih dalam proses pencarian jati diri dengan terus mencari role model. Media sosial menyajikan galeri karakter lintas budaya dari beragam kepribadian dan latar belakang. Di antara karakter itu, ada tukang tipu hingga tukang jual mimpi.
Pelajar perlu belajar menahan diri ketika berhadapan dengan beragam informasi di media sosial maupun di kanal berita. Sabar mengulik keabsahan data, mengurai argumen, dan menerka maksud dari apa yang disampaikan.
Di sisi lain, sikap waspada itu mesti pula dibarengi sikap terbuka dan berlapang dada. Terbuka menerima keberagaman, menghargai pendapat orang lain, dan beradaptasi dengan ide serta gagasan baru.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, kecakapan literasi digital perlu dimiliki oleh tiap pelajar. Literasi digital adalah kemampuan untuk memanfaatkan teknologi digital untuk meneliti, mengembangkan, dan menyelesaikan pekerjaan. Kemampuan ini juga mencakup menggunakan perangkat cerdas untuk bekerjasama, bertukar informasi, dan mencari hiburan.
Kesempatan untuk menuangkan gagasan dan berdiskusi dengan berbagai kalangan semakin luas dan terbuka. Pelajar pun dapat memanfaatkan kelas virtual seperti Khan Academy, mengikuti tutorial semisal WikiHow, serta bergabung dengan komunitas sesuai bakat atau minat dari berbagai layanan yang banyak tersedia secara gratis.
Sebagai langkah awal, pelajar butuh dibekali dengan pemahaman akan konsep anonimitas dan privasi sebelum ditanamkan kepada mereka nilai-nilai kritis, demokratis, dan etis dalam pergaulan di dunia maya. Konsep anonimitas, di satu sisi, mengajarkan pelajar agar selalu waspada terhadap potensi kejahatan yang bisa menyasar informasi pribadi mereka.
Akun digital baik dari media sosial atau lainnya bisa dimanfaatkan untuk kejahatan atas nama pemilik akun. Konsekuensi dari jejak digital (digital footprint) perlu disampaikan lebih awal. Meski demikian, tidak berarti pelajar dapat sesumbar seenaknya, apalagi sampai menyerang kredibilitas seseorang, kemudian berlindung di balik identitas anonim.
Konsep privasi, di sisi lain, menyadarkan pelajar bahwa mereka punya ruang pribadi yang tidak melulu mesti diumbar. Potret wajah, diri, dan suasana hati bukanlah sesuatu yang wajar untuk diunggah di ruang publik. Beberapa kasus human trafficking, pemerasan dengan modus ancaman penyebaran foto-foto pribadi, serta penyalahgunaan foto seseorang di situs dewasa dapat bermula dari menyepelekan hal tersebut.
Pelajar perlu dijejali doktrin bahwa ketenaran dan kepuasan tidak sebanding dengan harga diri. Banyak remaja, terutama gadis, yang teperdaya oleh lingkungan kreasi digital semisal Bigo Live atau TikTok entah hanya untuk unjuk diri atau sekadar cari sensasi. Tanggungjawab atas hal-hal sebesar itu merupakan dasar bagi sikap menghargai diri sendiri.
Petaka Literasi di Era Digital
Beberapa waktu yang lalu, MindEdge mempublikasikan hasil survei terhadap kemampuan literasi digital sekitar 1001 mahasiswa-mahasiswi seantero Amerika Serikat. Survei dilakukan secara daring dari tanggal 8 Mei hingga tanggal 14 Mei 2019. Survei ini menggunakan instrumen kuesioner dengan menanyakan beberapa hal terkait kepercayaan diri, kredibilitas media massa populer, perbandingan keakuratan antara informasi daring dan informasi luring, hingga opini mereka terhadap campur tangan pihak asing dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat di tahun 2020 mendatang.
Temuannya sangat mengejutkan. Mahasiswa-mahasiswi yang menjadi responden dalam survei tersebut justru menunjukkan kemampuan literasi digital yang rendah. Padahal, hampir seluruh waktu mereka digunakan untuk mengakses internet dengan perangkat yang cukup mutakhir. Studi itu juga mengungkap bahwa mayoritas responden gagal mengenali dan mengevaluasi kabar palsu. Sekitar 69 persen dari responden hanya berhasil menjawab tidak lebih dari lima item kuesioner dengan benar.
Parahnya, generasi Milenial justru kalah dari generasi Baby Boomers yang juga ikut dalam survei tersebut. Setidaknya 13 persen dari mereka berhasil menjawab benar delapan atau lebih item kuesioner yang diberikan. Dalam beberapa skenario, mereka mengungguli generasi Milenial dalam mengurai argumen secara kritis. Temuan ini menunjukkan bahwa kebiasaan menggunakan perangkat cerdas serta keseringan berada dalam interaksi virtual tidak menjamin kecakapan dalam literasi digital. Oleh karenanya, ini patut diwaspadai dengan membekali pelajar kita dengan kompetensi tersebut.
Pelajar Menyongsong Peradaban Digital
Pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi membuat klasifikasi pengguna layanan digital tidak lagi dilihat dari perbedaan usia. Foundation for Young Australians melalui skema 'The New Work Order" menyebutkan bahwa dunia digital dimanfaatkan oleh setidaknya empat golongan.
Yang pertama, digital muggle, merupakan golongan yang mengakses layanan digital tanpa perlu memiliki kecakapan digital tertentu. Yang kedua, digital citizen, memanfaatkan layanan digital untuk tujuan berkomunikasi, mencari informasi, dan melakukan transaksi. Yang ketiga, digital worker, mengatur jalannya sistem digital yang keempat, digital maker, berperan membangun teknologi digital.
Pelajar yang tergolong digital natives masuk dalam kategori digital muggle. Mereka merupakan bagian dari kelompok yang memasuki dunia digital tanpa pemahaman cukup akan seluk beluknya. Dalam artian, mereka hanya mengakses dunia digital berdasarkan petunjuk sistem navigasi sederhana (tautan, tombol, atau instruksi) tanpa memahami bagaimana sistem tatapmuka (interface) itu bekerja.
Soalnya, dunia profesional yang akan digeluti oleh para pelajar ini setidaknya membutuhkan kemampuan digital dasar seperti menggunakan e-mail, menjalankan perangkat lunak kantor, bahkan mengembangkan sistem digital mandiri. Sehingga literasi digital sudah menjadi keharusan. Di sekolah, literasi digital tidak perlu diajarkan sebagai satu mata pelajaran terpisah. Sebaiknya diintegrasikan dengan mata pelajaran lain atau sebagai metode belajar.
Dunia digital tidak dibatasi ruang sehingga siapa pun bisa ditemui dan diajak berinteraksi. Ini peluang yang dapat dimanfaatkan pelajar untuk terlibat dalam pergaulan yang lebih luas dan menemukan komunitas yang tepat. Hal ini, di satu sisi, membantu pelajar untuk mematangkan kemampuan interaksi sosialnya. Meski demikian, pelajar tetap butuh bimbingan dalam interaksi tersebut dalam hal menyikapi keberagaman. Termasuk sikap tenang dan santun ketika menghadapi perbedaan pendapat, menjalin dialog konstruktif, dan tidak melayani atau memedulikan ujaran kebencian.
Kemampuan berpikir kritis juga dapat dilatih dalam situasi bertukar informasi di jejaring media sosial. Pelajar dituntun untuk menilai sebuah informasi dari sisi keabsahan maupun kebermanfaatannya. Sumber informasi, konteks, otoritas (lembaga maupun keilmuan), hingga referensi menjadi pertimbangan pelajar ketika memvalidasi keabsahan suatu informasi.
Selain itu, perlu pula diberi pemahaman bahwa bahkan informasi yang absah pun tidak serta merta bermanfaat. Terkadang informasinya baik namun tidak tepat atau tidak signifikan. Asas kebermanfaatan informasi penting dalam menentukan informasi mana yang layak disebar (worth sharing) dan mana yang cukup untuk konsumsi pribadi.
Teknologi terus mengalami penyesuaian dan perkembangan, tuntutan belajar pun demikian. Pelajar dituntut untuk berpacu dengan kondisi tersebut dengan tujuan akselerasi aktivitas belajarnya. Situasi belajar tidak lagi berbatas dominasi sekolah dan ruang kelasnya. Jika dahulu para pendidik menjaga kewarasan berpikir para pelajar dengan memilah materi dan bahan bacaan, sekarang pendidik perlu melibatkan diri dalam aktivitas daring pelajar.
Pendidik pun dituntut untuk lebih terbuka untuk berdiskusi dan meluangkan waktu untuk membimbing perilaku interaksi virtual pelajar. Interaksi digital yang dimediasi internet membuka peluang bagi pelajar untuk terlibat membangun peradaban global. Layaknya tiap peradaban yang dibangun dari kecakapan literasi masyarakatnya, peradaban global pun menuntut kecakapan literasi masyarakat digitalnya.
Oleh: Azwar Abidin
Tidak ada komentar