Hiruk-pikuk Sistem Zonasi
Oleh M. Khoirudin, Dosen UNU Lampung
Segala sesuatu yang dianggap baru, pasti banyak yang menganggap aneh, tidak adil, kacau dll. Seperti sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dengan adanya sistem zonasi, sekolah favorit tidak melulu menerima siswa/i berprestasi saja, melainkan harus menerima siswa yang prestasinya (kurang) di lingkungan yang tak jauh dari sekolah.
Pro dan kontra menanggapi hal tersebut, boleh dan wajar. Karena, seluruh orang tua menginginkan anaknya masuk disekolah favorit.
Jika dulu, ada anak yang mendambakan masuk di sekolah favorit, namun tidak memiliki prestasi dan kebetulan jarak rumah tidak jauh dengan sekolahan hanya mimpi belaka. Sekarang, mimpi itu menjadi kenyataan. Anak-anak yang minim prestasi ternyata bisa masuk sekolah favorit, karena adanya sistem zonasi.
Apakah ini adil? Pastinya ada yang menjawab adil dan ada yang menjawab tidak adil. Semua tergantung dari sisi mana memandang.
Sekolah-sekolah favorit itu, kini telah menerima siswa yang beragam. Tidak hanya pintar dan cerdas saja yang diterima. Sekolahan favorit mungkin akan menjadi fosil belaka, karena diterapkannya sistem zonasi. Sistem ini yang akan mengubah kasta antara favorit dan tidak favorit. Sehingga, tidak ada lagi sekolahan yang dicap favorit.
Dewan guru yang terhormat, bila dulu mengajar mayoritas anak-anak pintar, anteng dan manut tapi kali ini ada tantangan yang menawan yakni mendidik anak yang beraneka rupa cara berpikir serta tingkat kenakalannya. Sehingga, para guru harus menyiapkan segala sesuatunya. Dan, semakin ekstra saat mendampingi belajar. Mungkin waktu untuk istirahat ataupun jalan-jalan berkurang, karena harus mendidik, mendampingi dan memotivasi anak yang kelebihan energi waktu berada disekolah.
Jika dulu, ada anak kurang pintar, nakal dan nilai tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Maka, pihak sekolahan memanggil orang tua bahwa anak anda bla bla bal. Sehingga, anak tersebut diberi dua pilihan seperti, tetap sekolah di sini, tapi tidak naik kelas atau naik kelas tapi pindah sekolah? Demikian penjelasan guru yang berada di sekolahan favorit.
Padahal pilihan tersebut membuat orang tua serta siswa resah. Dan, mau tidak mau memilih untuk pindah sekolah agar naik kelas. Pertanyaan, apakah siswa tersebut tidak bisa didik? Atau tidak mampu mengikuti materi yang diajarkan? Atau mungkin guru tak mau repot dengan beberapa siswa yang bandel serta tidak pintar?
Mari kita ingat kembali tugas sekolahan dan guru. Bukankah tugas sekolahan dan guru mendidik anak yang tidak tau menjadi tau? Oleh sebab itu, jangan mengeliminasi siswa yang tidak mampu ke sekolah yang lebih rendah. Saya percaya bahwa menjadi guru memang tidak mudah. Karena, harus memberikan sebuah pemahaman yang mampu dipahami oleh seluruh siswa.
Tapi, seorang guru harus ingat jika pemahaman setiap siswa beragam dan berbeda-beda. Maka dari itu, jangan menuntut siswa untuk pintar saja. Namun, berilah motivasi untuk semangat belajar serta mampu memahami materi yang diajarkan sesuai kemampuannya.
Para bapak dan ibu dewan guru, tetap semangat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Siswa mu kini beragam. Mungkin dulu siswa mu banyak yang pintar, tapi kali ini siswa mu berbeda. Menyamaratakan pemikiran itu mustahil. Teruslah mengajar, tumbuhkan motivasi dalam diri setiap siswa untuk selalu belajar.
Tidak ada komentar