Pengalaman Menyelesaikan Disertasi Di Negeri Jerman
Oleh Dr. Phil. Suratno, Universitas Paramadina
Giebt niemals auf
Jangan putus asa
Danke schoen
Giebt niemals auf
Jangan putus asa
Diingatkan facebook, 10 Februari pada 2 tahun yang lalu saya lulus doktorverteidigung (defense S3) di Uni Frankfurt. Jangan dilihat selembar kertas; tp adalah perjuangan tanpa kenal putus asa, yang menguras tenaga dan pikiran, doa dan airmata, serta kesabaran serta mental baja.
Saya harus akui studi S3 di Jerman paling terjal dan berliku. Makanya tidak hanya terseok-seok tapi juga lama. Pangkalnya ada 2. Karena tidak punya background anthropologie di S1 dan S2, jadi sebelum doktorverteidigung saya harus ikut ujian-komprehensif anthropologi.
Jangan dilihat ujiannya saja. Persiapannya panjang sekali. Dari mulai ikut kuliah program S1 dan S2 yang tidak semua berbahasa Inggris, kebanyakan berbahasa Jerman, begitu jg literaturnya. Tanya-tanya dan diskusi dengan senior dan kolega yang backgroundnya anthropologie. Begitu ujian, tidak cuma nerveous, tapi juga dikuliti para professor yang memang sudah pakar. Sangat menguras emosi dan pikiran. Kalau kemudian lulus, itu karena akumulasi banyak hal. No single factor.
Lulus ujian komprehensif dapat urkunde (sertifikat) untuk daftar ujian disertasi. Jangan mikir ujian disertasi dulu, proses nulis disertasinya juga harus sesuai standar Jerman yg rajin, disiplin dan cermat untuk hal-hal detail. Sementara saya tipikal orang nyantai dan banyak klangenan; main PS, nyanyi-nyanyi, jalan-jalan, gaul dll, trmsk dakwah juga.
Jadi kalau proses nulisnya lama ya 'make-sense'. Memang topik disertasi saya, tentang antropologi tobat untuk konteks muslim ekstrimis Indonesia: topik tobat dan aspek islamic studiesnya, topik ekstrimisme dan dimensi sosial-politiknya di Indonesia saya tidak kesulitan. Tapi lagi-lagi formulasi antropologinya, apalagi antropologi tobat relatif baru, wah saya kadang seperti zombie (mayat berjalan) sangking pusing dan buntunya.
Kalau nongkrong di taman Theodor Adorno Platz bukannya belajar karena mentok malah cari inspirasi. Nglamun dan menghayal. Kadang kalau sudah nggak kuat, saya "ziarah" saja ke kompleks Frankfurt Haupsfriedhof (kuburan sentral). Habis itu hati jadi tenang, stress berkurang. Tapi ya tetap saja belum menyelesaikan masalah disertasi.
Tapi setidaknya dengan sikon mental begitu, sy tidak putus asa dan siap berjuang lagi. Nulis dan konsultasi dengan pembimbing. Dicorat-coret lagi juga gak apa-apa, ntar diperbaiki lagi. Terus begitu. Tanpa bosan. Tanpa kenal lelah.
Giebt niemals auf. Jgn putus asa. Itu yang slalu saya ingat kalau lihat urkunde doktoralverteidigung. Selembar kertas yang di dalamnya ada 5 tahun perjuangan jatuh bangun. Lebih dari lagu dangdut Kristina yang jatuh-bangunnya cuma untuk urusan cinta.
Jadi benar sekali saya baca artikel "yang penting bukan gelar tapi mental"..
Gelar doktorphil itu cuma yang terlihat. Tapi yang saya rasa ada proses yang membuat mental saya makin kuat.
Dua tahun lulus S3, saya merasa harus banyak belajar lagi. Juga belum bisa berkontribusi apa-apa. Butiran debu. Tapi urkunde ini jadi penyemangat saya. Giebt niemals auf. Jangan putus asa.
Semoga selanjutnya sikonnya makin baik: dalam hal intelektual dan juga kerja-kerja sosial. Eh juga dalam hal spiritual, kan sudah belajar antropologi tobat.
Met weekend untuk semua. Weekend hari keluarga. Baitiy jannatiy. Reguk nikmatnya surga dunia dengan anak, istri/suami saudara dan orang tua.
Danke schoen
Tidak ada komentar