Pesantren Terbuka Dan Mbah Sahal Mahfudh Kajen Pati
Oleh Umar Farouq Marsuchin
Mondok di salah satu pesantren di Kajen adalah sama halnya dengan mondok di beberapa pesantren sekaligus secara bersamaan, sama halnya berguru pada beberapa kiai sekaligus, berteman dengan beragam santri, dan sekaligus bermasyarakat. Tidak tinggal di salah satu pondok bukan berarti tidak bisa mengaji di sana. Semua itu karena Kajen adalah Pesantren Terbuka.
Saya termasuk yang tidak tertarik memperdebatkan, apakah keterbukaan tersebut ‘sengaja diciptakan’ ataukah karena ‘terjadi alamiah’. Yang jelas, keterbukaan itu harus diterima, dihadapi dan didayagunakan. Keterbukaan pesantren Kajen secara lahiriyah tampak dari membaurnya bangunan-bangunan pondok dengan rumah warga. Komplek pondok tidak ‘dipagari’ dari lingkungan luarnya. Dan yang secara fisik itu juga tentu berimbas langsung pada budaya,pemikiran, wawasan dan sikap yang terbuka kaum santrinya.
Saya menikmati keterbukaan itu sejak pertama kali mondok tahun 1986, di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum (PPRU) dan bersekolah di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM). Sebagai santri PPRU saya dapat dengan leluasa (termasuk hanya sebentar-sebentar) mengaji kitab pada KH Ma’mun Muzayyin (PP Permata), KH Umar Hasyim (PP Kauman), KH Junaidi Muhammadun (PP APIK), KH Ma’mun Mukhtar (PMH Buludana), KH Nurhadi (PP Pesarean), KH Duri Nawawi (PP TPII), KH Sahal Mahfudh (PMH Putra), KH Faqih dan KH Asmui (PP Salafiyah), KH Hafidh (PMU Kajen), KH Rifai Nasuha (PPAI), KH Muzayyin (PMH Romo Ngemplak), KH Zahwan Anwar (PP Darul Huda Ngemplak), KH Abdullah Zen (Nurwiyah Cebolek), KH Abdullah Rifai (Cebolek) dan mengaji Al Qur’an pada KH Masykur Tamyiz dan KH Musaddad.
Belum lagi para kiai yang mengajar di PIM. Dengan begitu, beliau semua adalah guru dan kiai saya. Putra-putri beliau semua adalah gus-gus dan neng-neng saya. Demikian juga seharusnya santri yang melakukan hal yang sama dengan saya, mengaji di pondok manapun dan sekolah di madrasah manapun, adalah santri beliau semua. Pernyataan demikian rasanya tidak berlebihan. Sekedar contoh, saat saya datang pertama kali, tampak sekali ada suasana haru pada santri-santri PPRU dan pondok lainnya karena kehilangan Kiai Hasir (PMU Kajen) yang saya dengar belum lama wafat. Ada rasa kehilangan yang dirasakan bersama, tidak hanya oleh santri PMU saja.
KEILMUAN RIWAYAT
Salah satu kiai di mana saya rutin mengaji saat posonan Ramadlan adalah KH MA Sahal Mahfudh. Saya baru mulai posonan kepada beliau saat kelas III Tsanawiyah. Tidak lain karena pengajian beliau memang ‘berkelas’; materi-materinya kitab ‘serius-serius’ dan tingkat lanjut, biasanya bidang fiqh (Syafi’i khususnya) atau ilmu pendukungnya dan mustami’ (pesertanya) santri menengah ke atas, bahkan sebagian sudah menjadi kiai.
Durasi pengajiannya relatif panjang, yakni mulai jam 08.00 sampai jam 11.00, dilanjutkan jam 13.00 sampai jam 15.00. Berarti 5 jam sesiang. Pengajian ini diikuti oleh ratusan bahkan ribuan peserta, mulai dari santri mukim hingga kiai pesantren atau yang hanya mengikuti pembukaan dan penutupannya saja dengan maksud tabarrukan.
Selama beberapa kali posonan termasuk ketika sudah boyong dari Kajen, saya selalu tinggal di PPRU. Di antara kitab yang pernah saya ikuti adalah; Al Mahally karya Imam Jalaludin Al Mahally, Al Iqna’ karya Imam Khatib As Syirbini, Al Asybah wa An Nadhair karya Imam Abdurrahman As Suyuthi, Ghayah al Wushul karya Imam Zakariya al Ansari, Jam’ al Jawami karya Imam Imam Tajudin As Subuki.
Pengajian kitab posonan di Pesantren Maslakul Huda ini, baik yang diampu beliau maupun Qari’ (pengampu pengajian) lain, khatam paling lambat pada tanggal 16 Ramadan. Pada malam harinya bertepatan malam 17 Ramadan, selalu dilaksanakan seremonial peringatan Nuzulul Quran sekaligus penutupan kegiatan-kegiatan Ramadan di pesantren. Kegiatan itu antara lain shalat Tarawih dengan mengkhatamkan Al Quran dan pengajian-pengajian kitab.
Dalam acara ini, Mbah Sahal dan para qari selalu membacakan sanad kitab yang diampu sekaligus mengijazahkannya kepada para peserta. Sanad Kitab (rangkaian periwayat kitab) menghubungkan pengampu pengajian kitab itu dengan muallif (penulis) kitab tersebut. Semakin tua usia kitab maka semakin panjang rangkaian periwayatnya.
Sanad kitab seperti ini dapat berfungsi menjaga keotentikan pemahaman materi kitab sekaligus ketersambungan ilmu murid kepada guru, lalu guru kepada gurunya dan seterusnya. Meskipun juga mendapatkan dari guru-guru lainnya, sebagian besar sanad Mbah Sahal beliau dapatkan dari ulama besar asal Padang yang tinggal dan mengajar di Mekkah, Syaikh Yasin Al Padani. Syaikh Yasin ini memiliki gelar Musnid al ‘Ashr (tumpuan sanad pada masa itu)
Di mata santri-santri beliau, hubungan Mbah Sahal dengan Syaikh Yasin adalah hubungan yang melegenda. Dimulai dari inisiatif Mbah Sahal saat masih mondok di Sarang untuk melakukan murasalah (saling berkirim surat) kepada Syaikh Yasin. Surat-surat berbahasa Arab berisi masalah-masalah keilmuan itu menjadi diskusi jarak jauh antara beliau berdua sebagai guru dan murid.
Mbah Sahal sangat mengagumi dan menghormati Syaikh Yasin, sebaliknya Syaikh Yasin sangat menyayangi dan melihat kealiman Mbah Sahal muda. Hubungan itu berlangsung bertahun-tahun tanpa pernah beliau berdua bertemu. Hingga suatu ketika, saat Mbah Sahal akan berangkat melaksanakan ibadah haji yang pertama, beliau mengabarkan hal itu kepada Syaikh Yasin.
Singkat cerita, Syaikh Yasin telah menjemput beliau di pelabuhan sebelum kapal yang mengangkut jamaah termasuk Mbah Sahal merapat. Saya dan santri lainnya suka membayangkan betapa dramatisnya perjumpaan pertama beliau berdua. Apalagi –sebagaimana pernah Mbah Sahal tuturkan—setelah meyakinkan bahwa yang di hadapannya adalah benar-benar Mbah Sahal, maka Syaikh Yasin segera mengajak beliau mencari tempat yang kondusif.
Di tempat itulah Syaikh Yasin meriwayatkan hadits yang hanya sah bila diriwayatkan oleh guru kepada murid saat perjumpaan pertama mereka. Hadits ini disebut Musalsal bi al Awwaliyah. Jika kesempatan pertama seperti itu dilewatkan maka kesempatan yang sama tidak akan pernah terulang selamanya. Musalsal adalah jenis hadits yang tata cara yang menyertai periwayatannya sama persis sejak dari Rasulullah hingga perawi terakhir. Dan kelak –tidak hanya Musalsal- Syaikh Yasin juga meng-ijazah-kan semua sanad beliau kepada Mbah Sahal secara mutlak fi jami’ al funun wa jami’ al kutub (semua bidang ilmu dan semua macam kitab, baik kitab karya Syaikh Yasin sendiri maupun bukan).
Beberapa hadits Musalsal beliau sampaikan juga kepada setiap calon lulusan kelas III Aliyah PIM, di mana beliau duduk sebagai Direktur hingga akhir hayat. Kepada calon lulusan putra (mutakharrijin) Musalsal beliau riwayatkan langsung, sedangkan kepada calon lulusan putri (mutakharijat) beliau riwayatkan melalui Mbah Nyai Hj Nafisah Sahal.
Demikian ini jika dalam meriwayatkan Musalasal tersebut terdapat kontak fisik, misalnya Musalsal bi al Mushafahah (berjabat tangan) dan Musalsal bi al Musyabakah (ngapurancang/saling menggenggam jari-jemari). Sedangkan Musalsal yang tidak memerlukan kontak fisik, beliau sampaikan langsung kepada putra dan putri, misalnya Musalsal bi al Mahabbah (rasa sayang) dan bi qiraah Ayatal Kursi (membaca ayat Kursi usai shalat).
Dahulu pada saat kelulusan saya, penyampaian Musalsal dilaksanakan secara apa adanya, sebagai majlis periwayatan hadits di ndalem beliau. Kamipun hanya bersarung dan tidak mengenakan baju seragam. Di akhir majlis, kami minta beliau mengalungkan kalung medali yang menjadi cendera mata angkatan kami, kepada kami satu persatu, sekedar untuk difoto saja. Demi menyenangkan hati kami, beliau kersa melayani.
Belakangan, tampaknya adik-adik lulusan berikutnya menjadikan acara penyampaian Musalsal agak formal. Mbah Sahal pinarak di kursi yang sudah ditata rapi sedemikian rupa, di belakang beliau ada banner bertuliskan titel acara, mutakahrijin-nya mengenakan seragam biru khas PIM, dan saat di hadapan Mbah Sahal difoto satu persatu. Mereka bilang itulah prosesi wisuda kelulusan mereka, karena di madrasah, kan tidak pernah ada acara prosesi-prosesian.
Kembali soal Sanad, kelak pernah ketika mondok di Kwagean Kediri, saya dijadwalkan pengurus untuk membacakan kitab Al Ahkam As Sulthaniyah karya Imam Al Mawardi, sebagai materi pengajian kilatan berkala bulan Dzulhijjah tahun 1997 (menggantikan Romo Kyai yang tindak haji). Dijadwalkan juga membacakan kitab Ghayah al Wushul, sebagai materi pengajian kilatan tahunan tahun berikutnya.
Untuk mempersiapkan materi dan mental menghadapi para mustami yang biasanya senior-senior, saya sowan konsultasi ke KH Kholil Bisri Rembang, lalu sowan mohon ijazah dan sanad kedua kitab tersebut kepada Mbah Sahal. Beberapa waktu kemudian Mbah Sahal mengirim surat kepada saya (murasalah). Selain memotivasi, isi surat terutama berisi sanad kedua kitab tersebut. Surat beliau tulis dengan tulisan tangan sendiri beserta tanda tangan. Hingga kini surat masih saya simpan rapi.
Kekayaan riwayat beliau kadang berfungsi sebagai semacam ‘kenang-kenangan’ atau ‘tanda mata’ saat disowani atau bertemu dengan para pecinta ilmu, baik dari kalangan pemula maupun para ulama. Yang sempat saya lihat sendiri adalah saat datang serombongan besar pemuka para ulama dari Madura dan Jawa Timur.
Para ulama itu sebetulnya ingin mengadu tentang keberadaan kelompok Syiah di Madura. Bahkan tampaknya mereka juga sedang mencari legitimasi dari Mbah Sahal untuk menyatakan sesat kelompok tersebut. Namun karena beliau adalah sosok ulama yang mengayomi siapa saja, maka dialihkanlah tema pertemuan itu menjadi majlis periwayatan hadits Musalsal.
Sebagaimana diketahui, bahwa keilmuan syariat diperoleh dengan 2 cara, Riwayat (periwayatan dari guru-guru yang mencerminkan otentis-orisinalitas) dan Dirayat (perenungan dan penelitian yang mencerminkan empiris-rasionalitas). Maka dilengkapi dengan sanad-sanad dari Mbah Hajir (KH Muhajir) beserta kiai-kiai Bendo Pare lainnya, Mbah Zubair (KH Zubair Dahlan) beserta kiai-kiai Sarang lainnya, Mbah Madun (KH Muhammadun), Mbah Dulhadi (KH Abdul Hadi) dan Mbah Dullah (KH Abdullah Salam) beserta kiai-kiai Kajen lainnya, termasuk baiat sebagai Mursyid dalam Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah oleh Mbah Muslih (KH Muslih Abdurrahman) Mranggen, penggalan-penggalan kisah dan kenangan pribadi saya di atas meyakinkan saya bahwa secara Riyawat, keilmuan Mbah Sahal demikian agung dan mulya. Bersambung.
*(Catatan ini sekedar kenangan sekilas saya. Tidak saya maksudkan untuk menggambarkan para kiai saya, karena saat menulisnya saya sama sekali tidak melakukan semacam penelusuran, wawancara, bahkan klarifikasi apapun kepada pihak yang relevan, terutama keluarga. Saya hanya ingin mengenang orang-orang mulia nan tercinta. Semoga di balik catatan ini ada keteladanan yang menginspirasi, meskipun untuk menggiring ke sana, saya tidak pandai menggurui orang lain)
Tidak ada komentar