Belajar Bijak Di Medsos
Oleh Farhan Alblitary, kandidat doktor ilmu komunikasi di SPs. UIN Jakarta.
Saya semakin bingung mengendalikan media sosial WA. Mungkin tidak hanya saya yang merasakannya, melainkan user lainnya juga. Saya bingung bukan karena HP yang selalu saya bawa, saya rawat, saya jaga, dan saya cintai ini setia menemani kemanapun saya pergi. Kebingungan saya adalah mengatur jadwal penggunaannya, kapan harus online dan kapan harus offline dalam 24 jam?
Saya mencoba mencari jawaban sendiri dari pertanyaan itu. Saya berpikir dan merenung dalam beberapa hari. Alhasil, jawaban itu saya dapatkan dalam sebuah perjalanan dari Magelang, Jawa Tengah menuju Probolinggo, Jawa Timur 24-25 September 2017. Jawaban itu saya bagi ke dalam tiga kategori berdasar aspek waktu pengguna media sosial WA, yaitu;
Pertama; Pengguna Pro-aktif masif. Sebagai user saya harus selalu online untuk berbagi pesan, informasi dan ide-ide dengan patner (receiver), terkait bahasan rencana kegiatan yang akan diselenggarakan (seminar, diklat, workshop, dan kajian ilmiah lainnya) sesuai jadwal yang telah ditentukan waktu pelaksanaan dan lokasinya.
Intensitas online di WA itu menjadi ‘hukum alam’ dan ‘rumus’ antar user atau panitia penyelenggara baik melalui jaringan pribadi (japri) ataupun jaringan grup (jagrup). Tentu saja, dalam keterangan online itu akan diiringi keterangan ‘sedang mengetik’ bila komunikasi tulis yang selalu dipakai. Atau memilih merekam suara (audio) sebagai feedback dari penyatuan pemahaman kesiapan kegiatan dimaksud. Dalam satu grup WA dengan jumlah kecil di bawah 50 user tentu bisa ditebak mana yang memberikan respon proaktif atau bahkan kontra dari pendapat atau argumen yang sedang mengalir di ruang itu.
Kedua; Pengguna pro-aktif pasif. Keputusan user menutup atau mematikan jaringan internet merupakan pilihan yang terkadang dilematis dan ambigu. Misalnya, bagi muslim dalam menjalankan ibadah shalat lima waktu, harus memfokuskan jasmani dan rohaninya (khusu’), maka pilihan offline merupakan upaya konkrit menggapai titik fokus.
Bisa jadi, keputusan offline bagi sebagian pengguna disebabkan karena faktor ketiadaan kuota paket internet. Hal ini, tentu membuat sedikit galau bagi user. Secara tidak langsung banyak cara yang dilakukan untuk mengaktifkan atau mendapatkan jaringan baru, bisa dengan mengisi paket ulang, mendapatkan jaringan wifi dan atau hotspot. Sehingga eksistensi diri di media sosial WA tetap ‘sehat’.
Melalui tulisan sederhana ini, sekali lagi saya hanya ingin mencoba mengingatkan diri pribadi dan pembaca, agar kita belajar bijak menggunakan media sosial dalam interaksi sehari-hari. Karena kita adalah manusia yang harus berbagi dalam suka dan duka dengan cara bersua. Jangan jadi medsos sebagai sarana berbagi hal yang negatif, misalnya ujaran kebencian, fitnah, hoax, dan lain sebagainya, karena yang demikian ini bisa disebut sebagai sampah digital. Sekali lagi janganlah dibagi. Manfaatkan medsos media belajar dan berbagi hal yang positif.
Saya mencoba mencari jawaban sendiri dari pertanyaan itu. Saya berpikir dan merenung dalam beberapa hari. Alhasil, jawaban itu saya dapatkan dalam sebuah perjalanan dari Magelang, Jawa Tengah menuju Probolinggo, Jawa Timur 24-25 September 2017. Jawaban itu saya bagi ke dalam tiga kategori berdasar aspek waktu pengguna media sosial WA, yaitu;
Pertama; Pengguna Pro-aktif masif. Sebagai user saya harus selalu online untuk berbagi pesan, informasi dan ide-ide dengan patner (receiver), terkait bahasan rencana kegiatan yang akan diselenggarakan (seminar, diklat, workshop, dan kajian ilmiah lainnya) sesuai jadwal yang telah ditentukan waktu pelaksanaan dan lokasinya.
Intensitas online di WA itu menjadi ‘hukum alam’ dan ‘rumus’ antar user atau panitia penyelenggara baik melalui jaringan pribadi (japri) ataupun jaringan grup (jagrup). Tentu saja, dalam keterangan online itu akan diiringi keterangan ‘sedang mengetik’ bila komunikasi tulis yang selalu dipakai. Atau memilih merekam suara (audio) sebagai feedback dari penyatuan pemahaman kesiapan kegiatan dimaksud. Dalam satu grup WA dengan jumlah kecil di bawah 50 user tentu bisa ditebak mana yang memberikan respon proaktif atau bahkan kontra dari pendapat atau argumen yang sedang mengalir di ruang itu.
Kedua; Pengguna pro-aktif pasif. Keputusan user menutup atau mematikan jaringan internet merupakan pilihan yang terkadang dilematis dan ambigu. Misalnya, bagi muslim dalam menjalankan ibadah shalat lima waktu, harus memfokuskan jasmani dan rohaninya (khusu’), maka pilihan offline merupakan upaya konkrit menggapai titik fokus.
Bisa jadi, keputusan offline bagi sebagian pengguna disebabkan karena faktor ketiadaan kuota paket internet. Hal ini, tentu membuat sedikit galau bagi user. Secara tidak langsung banyak cara yang dilakukan untuk mengaktifkan atau mendapatkan jaringan baru, bisa dengan mengisi paket ulang, mendapatkan jaringan wifi dan atau hotspot. Sehingga eksistensi diri di media sosial WA tetap ‘sehat’.
Melalui tulisan sederhana ini, sekali lagi saya hanya ingin mencoba mengingatkan diri pribadi dan pembaca, agar kita belajar bijak menggunakan media sosial dalam interaksi sehari-hari. Karena kita adalah manusia yang harus berbagi dalam suka dan duka dengan cara bersua. Jangan jadi medsos sebagai sarana berbagi hal yang negatif, misalnya ujaran kebencian, fitnah, hoax, dan lain sebagainya, karena yang demikian ini bisa disebut sebagai sampah digital. Sekali lagi janganlah dibagi. Manfaatkan medsos media belajar dan berbagi hal yang positif.
Tidak ada komentar