Mengembangkan Dakwah dan Pendidikan Berkebangsaan
Pancasila sebagai dasar negara dan menjadi
pemersatu perbedaan masyarakat Indonesia. Sudah berabad-abad sebelum Indonesia
merdeka pun Pancasila sudah ada. Gusdur sebagai presiden ke 4 pernah menyatakannya
Pancasila tanpa nama yang disebut dengan Bhinneka Tunggal Ika dan kini yang
menjadi semboyan negara. Semboyan ini senjata ampuh mempersatukan perbedaan
menjadi satu tujuan bangsa Indonesia. Di usia kemerdekaan yang ke 75 ini,
bagaimana upaya Indonesia agar tetap dapat menjaga dan merawat semboyan
tersebut ?
Era globalisasi menjadi tantangan serius bagi
bangsa Indonesia. Kelompok ormas keagamaan maupun gerakan-pemikiran yang anti
Pancasila, atau anti perbedaan dan kemajemukan mulai nampak secara terang-terangan
dan tentu akan terus berkembang. Secara sadar hal itu sulit dihindari, pada
akhirnya akan menggangu stabilitas nasional. Maka dalam hal ini perlu kerja
keras bangun bangsa Pancasila (Kompas, 25/8). Upaya serius yang dapat dilakukan
adalah menyegarkan kembali dunia pendidikan dalam membentuk karakter anak
bangsa yang sesuai dengan semboyan negeri. Upaya ini dapat membentengi
masyarakat Indonesia dari dampak negatif globalisasi atas keutuhan NKRI.
Mengembangkan pendidikan yang kembali pada semboyan
bangsa Indonesia perlu mengedepankan pendekatan kemajemukan. Pendekatan pendidikan
ini sebagai gerakan pembaharuan yang dirancang untuk membuat perubahan besar
dalam dunia pendidikan seperti di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan
sejenisnya. Tujuan dari gerakan pendidikan ini, pertama, untuk memberikan pandangan seseorang agar mengenali budayanya
sendiri dan budayanya orang lain.
Selanjutnya
yang kedua, menyediakan kebutuhan
siswa dengan berbagai alternatif bahasa, budaya dan etnik. Ketiga, menyediakan semua siswa dengan memberikan keterampilan,
sikap, dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan agar bisa berfungsi untuk
berinteraksi pada komunitas budaya yang ada. Keempat, menghindari diskriminasi karena perbedaan. Kelima, membantu anak didik untuk dapat
membaca, menulis, dan kesesuaian keterampilan yang dibutuhkan supaya berfungsi
secara efektif pada kebutuhan kehidupan. Keenam,
memberikan kesempatan warga untuk mencoba mengasimilasikan dengan berbagai
budaya yang berbeda sebagai bagian dari membangun pendidikan kewarganegaraan
dan cinta pada tanah air. Menurut istilahnya Banks pendekatan tersebut dikatakan
sebagai pendidikan multikultural (James Banks: 2008).
Selain
itu pendidikan yang mengedepankan kemajemukan dapat dibangun dengan pendekatan
agama. Argumentasinya adalah agama mengakui dan mengajarkan untuk menerima
keragaman dan kemajemukan. Misalnya agama Islam yang telah menjelaskan Tuhan
menciptakan manusia dari jenis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Kemudian menjadi majemuk karena berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Artinya
keberadaan manusia secara sunnatullah adalah beragam dan majemuk, dengan
ini agar manusia untuk saling mengenal satu sama lainnya yang berbeda (QS. al-Hujurat: 13). Atas landasan
teologis yang seperti ini maka sudah seharusnya pendidikan agama menjadi basis
untuk menjaga kebhinekaan. Jadi, bukan sepatutnya pendidikan agama sebagai
pemicu fundamentalisme, konservatisme bahkan radikalisme, atau pendidikan agama
sebagai idiologisasi yang dapat meretakkan kebhinekaan. Menjadi semestinya
pendidikan agama sebagai transformasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan dan
nilai-nilai kealaman dalam kehidupan sosial.
Pendekatan
Berkemajemukan
Pendidikan dengan pendekatan berkemajemukan dalam hal ini memiliki
fungsi menjaga semboyan negara. Dalam rangka membangun pendidikan yang
berkemajemukan tidak cukup mengandalkan satu elemen saja, misalanya pada mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Akan tetapi untuk mewujudkannya secara
sepenuhnya, yakni semua aspek kependidikan terlibat. Berikut ini ada lima
elemen penting yang harus diperhatikan untuk mewujudkannya. Pertama, menekankan
visi penyelenggaraan pendidikan yang mencerminkan falsafah dan visi kebhinekaan.
Visi ini sebagai cerminan awal bentuk pendidikan yang mengantarkan secara
operasional dalam programnya. Terlebih, para pengelola pendidikan harus
mengerti dan memahami yang sebenarnya tentang fitrah manusia/hakikat manusia,
khususnya dalam konteks kemajemukan.
Kedua, pada level operasional lembaga pendidikan memiliki sumber
daya manusia (SDM) yang terbuka pemikirannya baik pendidik, staf ataupun
karyawan. SDM sekolah yang memiliki kesadaran ini mampu membawa arah pendidikan
yang bervisi tersebut. Untuk memiliki staf (SDM) sekolah yang memiliki visi
yang sama dengan pandangan dasar sekolah dapat melalui dua cara. Pertama dengan
cara menerima tenaga kependidikan yang memiliki wawasan kemajemukan dan kedua,
memberikan pembinaan agar staf pengajar memiliki visi yang sama atau meng-upgrade
kembali pemahamannya. SDM sekolah berfungsi sebagai aktor dalam mengembangkan
pendidikan bervisi kebhinekaan. Tanpanya sebaik apapun visi atau landasan
dasar penyelenggaraan pendidikan akan
sulit berhasil, sebab pendidik mempunyai peran sebagai uswah hasanah,
kemudian sebagai seorang yang mentransformasikan cita-cita/visi-misi, dan
program-program sekolah (transformer).
Ketiga merancang kurikulum penuh yang integral di sekolah.
Kurikulum penuh meliputi kurikulum formal, kurikulum pembudayaan, dan kurikulum
ekstra. Ketiga kurikulum ini tentu harus terintegrasi untuk menuju pada satu
tujuan yang menjadi cita-cita bersama. Kurikulum formal sebagai kurikulum yang
sistematis, dapat diukur dan dapat dievaluasi, sebab dalam kurikulum ini
memiliki perangkat pembelajaran yang jelas. Selain menggunakan kurikulum
nasional, perlu kiranya sekolah membuat kurikulum unggulan yang dirancang atas
dasar cita-cita dan kebutuhan anak didik. Selanjutnya kurikulum pembudayaan sebagai
hidden kurikulum, bertujuan untuk membangun budaya sekolah dalam membentuk
karakter anak secara personal maupun secara sosial di lingkungan sekolah. Dan kurikulum
ekstra sekolah sebagai kurikulum yang bersifat skill/membangun potensi anak
didik. Pengembangannya dapat melalui program-program plus sekolah yang dapat
mendukung dengan karakter kemajemukan.
Yang keempat menciptakan sistem pembelajaran yang integratif. Membangun
sistem ini melalui program pembelajaran, baik metode pembelajaran, materi, atau
dalam perangkat-perangkatnya. Metode pembelajaran dapat menggunakan pendekatan
tematik atau menggunakan pendekatan transformatif. Sistem integrasi berupaya
memberikan tautan atau keterpaduan dalam satu pembahasan atau dalam satu
pelajaran dengan pembahasan lainnya. Sistem seperti ini dapat membentuk
persepsi yang lebih utuh. Untuk
menerapkan sistem pembelajaran yang integratif, sarat yang paling utama adalah
kualitas SDM/pendidik yang mempunyai paradigma inklusif/multidisiplin. Pendidik
adalah sebagai aktor yang membuat sistem pembelajaran integratif itu berhasil.
Elemen yang kelima yaitu, menjadikan pendidikan agama sebagai
penggerak/pemicu moral kemajemukan anak didik. Agama telah mengajarkan umat
manusia untuk bervisi integral dalam rangkan mewujudkan rahmatan lil’alamin,
termasuk juga kesadaran kebhinekaan manusia. Dengan visi besar yang demikian,
maka pendidikan agama menjadi medium untuk mentransformasi ajarannya ke dalam
kehidupan manusia. Secara bersamaan pendidikan agama sekaligus berfungsi untuk
melaksanakan pendidikan secara vertikal (berhubungan pada Tuhan), kemudian
pendidikan peka diri (hubungan manusia dengan sesama manusia maupun alam
sekitar). Pada hakikatnya pendidikan agama adalah komprehensif visinya yang
berbasis kemajemukan, hanya saja tergantung pada pendekatan yang digunakannnya.
Disamping lima elemen di atas, anak didik agar dibangun
kesadarannya atas realitas kemajemukan. Kesadaran ini yang memberikan pengertian anak
didik atas hakikat dirinya agar sadar akan melakukan apa dan bagaimana. Upaya ini
dapat dilakukan pada awal tahun pelajaran baru, persemester atau tiap minggu
dengan program sosialisasi budaya sekolah (SBS), semacam masa orientasi.
Program ini salah satu fungsinya memberikan kesadaran kepada siswa tentang
keberadaan sekolah sehingga siswa dapat mengetahui hakikat dirinya di sekolah
dan lingkungannya. Proses kesadaran pengenalan hakikat diri akan mengantarkan
tindakan untuk memperlakukan orang lain, dan alam lingkungan seperti
memperlakukan dirinya sendiri. Program ini merupakan bagian dari membangun rasa
cinta kepada semuanya dengan sikap memberi tanpa menerima, dan tanpa melihat
lagi perbedaan.
Konsep pendidikan di atas tidak bertolak dari konteks sosio-histori
dan sosio-kultur bangsa Indonesia. Para pengelola pendidikan milik negara
maupun milik swasta harus sadar atas hal itu. Penting kiranya untuk melihat
kembali falsafah-falsafah bangsa untuk pendidikan. Semakin tinggi semangat
pendidikan kembali pada falsafahnya, khususnya falsafah bangsa, maka semakin
tinggi pula ruhnya yang terkandung. Pendidikan yang dapat membangun perdaban bangsa
adalah pendidikan yang memiliki ruh yang tinggi.
Keterangan: artikel ini telah dipublish di Buletin Al Fatah Unisma Bekasi Vol.9 No.1 2020 halaman 50-54
Tidak ada komentar