Cerita Efek Full Day School 2
Ada banyak sisi lain dari pelaksanaan full day school. Berikut ini adalah cerita tentang full day school yang ternyata menunjukkan FDS banyak kekurangan. Berikut cerita yang diposting oleh pak Jhony Hendra melalui laman facebooknya sendiri pada 29 Juli 2017. Postingan ini merupakan yang ke dua setelah postingan pertama pada 28/7 yang diberi judul dampak full day school.
(Dampak Full Day School Jilid II)
Assalamualaikum. Perkenalkan, nama saya Nolla. Saya anak pertama dari bapak Jhony Hendra yang beberapa hari lalu sempat menulis postingan tentang “Dampak Full Day School”. Jujur saja, kami sekeluarga begitu terkejut ketika postingan tersebut mendapatkan respon yang begitu banyak dari pengguna FB. Dan juga terharu -terlepas dari pro dan kontra yang muncul- karena begitu besar kepedulian masyarakat Indonesia terhadap kondisi pendidikan saat ini yang terlihat dari berbagai macam komentar di postingan tersebut.
Pertama, izinkan saya meluruskan beberapa hal. Ayah saya seorang guru disalah satu SMK Negeri yang ada di Batam. Dan ibu saya adalah guru disalah satu SDIT di Batam. Ketiga adik saya yang berada di foto tersebut secara berurutan sedang berada di kelas VIII SMP, V SD, dan III SD. Ketika foto tersebut diambil, ayah saya berkata “Kasihan sekali ya adik-adikmu kelelahan sampai ketiduran begini”. Ayah saya itu penyayang sekali, dimana tentu sangat berbeda definisi nya dengan “memanjakan” seperti yang dituduhkan oleh beberapa netizen. Dan adik saya memang tertidur dengan berkeringat, dan seperti yang kita tahu bahwa udara di Batam sangat panas, ini tidak bohong apalagi “lebay”, seperti kata beberapa netizen. Ayah membangunkan adik-adik saya, yang paling kecil digendong olehnya, dan dua lainnya bangun sendiri dan berjalan sempoyongan lalu menjatuhkan diri di sofa kemudian lanjut tidur. Alasan ayah memposting foto tersebut di FB, tidak semata-mata dikarenakan rasa kasihan kepada anak, tapi merupakan akumulasi dari kegelisahan dan kegundahan yang dirasakannya terhadap kondisi pendidikan di Indonesia selama 20 tahun mengajar dalam hidupnya.
Dan hari itu adalah puncaknya.
Dimana keresahan yang ayah rasakan tersebut dikomentari oleh netizen sebagai keluhan. Saya akan mengutip salah satunya : “banyak orang lebih susah dari situ kok ngga pernah ngeluh”. Pertanyaannya, memangnya keluhan itu buruk? Buruh mengeluhkan nasibnya yang tidak layak dengan cara berdemo, kemudian UMR dinaikkan. Mahasiswa mengeluhkan biaya kuliah yang mahal dengan cara berdemo didepan rektorat, kemudian biaya kuliah diturunkan. Dan masih banyak lagi. Faktanya kita semua mengeluh. Dan ayah memilih untuk mengeluh melalui FB. Kalau kita tidak menyampaikan apa yang kita rasakan, lalu bagaimana penguasa bisa tahu kinerjanya sudah memuaskan atau belum? Ditengah krisis seperti ini kita harus kritis jika tidak ingin habis.
Sudah melantur kemana-mana, haha. Yuk mari kita bahas kembali kondisi pendidikan sekarang, dalam kasus ini Full Day School.
1. Presiden Joko Widodo sudah membatalkan kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter yang digagas Menteri Pendidikan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Judulnya adalah Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), terdengar bagus sekali ya. Tapi tunggu dulu, mari kita kupas bagaimana perencanaan realisasinya. Pertama, PPK ini adalah konsep yang dibuat untuk Tingkat SD dan SMP lho ya. Jadi kalau ada yang komentar “Saya SMA dan full day, biasa aja tuh, ngga capek, enjoy” , maaf sekali tapi kamu tidak masuk dalam konsep PPK ini. Jadi begini, kalau teman-teman sekalian membaca buku Konsep dan Pedoman PPK yang ada di website kemendikbud, teman-teman sekalian akan menemukan bahwa kebijakan ini keren, hebat. Mulai dari nilai-nilai utama yang ingin ditanamkan yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Dimana kelima nilai ini memang sedikit demi sedikit luntur pada generasi muda kita. Maka melalui PPK kemendikbud berusaha mengejewantahkan “nawacita” Presiden Joko Widodo melalui Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Beberapa tahun lalu pemerintah juga datang dengan K-13. Suatu gebrakan yang membingungan baik guru dan murid. Yang sebenarnya fokus utama tidak jauh berbeda dengan PPK. Yaitu Karakter. Bedanya, PPK datang dengan dengan 8 jam pembelajaran dan bobot lebih kompleks. W-O-W. 8 jam teman-teman. Bahkan sampai sekarang saja kita tidak tahu seberhasil apa K-13 terhadap perbaikan karakter anak bangsa, alih-alih PPK. Apa parameter keberhasilannya? Apa tools evaluasi parameter tersebut? Kita sama-sama kebingungan.
2. Seperti yang saya katakan diatas, kebijakan PPK ini keren. Masalahnya ada pada teknis, seperti yang disoroti oleh ayah. Full Day. Jika K-13 saja tidak menunjukkan keberhasilan signifikan, lalu jaminan darimana dengan bersekolah selama 8 jam dari senin-jumat dengan bobot materi lebih besar (PPK) akan menunjukkan hasil yang berbeda? Ayah khawatir justru sebaliknya. Kemunduran. Karena ketahanan tubuh manusia terbatas. Dari 8 jam belajar seberapa banyak yang masuk ke dalam kepala? Atau justru lebih banyak yang keluar? Apalagi jika subjek kita disini adalah siswa SD dan SMP. Berapa lama mereka sanggup fokus menerima pembelajaran sebelum akhirnya yang diberikan terpental?
3. Masalah keagamaan. PPK membawa nilai religius tapi seberapa besar sih porsinya? Apakah anak/adik kita akan diajarkan mengaji di sekolah? Diajarkan sholat? Tidak. Pada akhirnya mereka tetap harus belajar mengaji diluar sekolah. Dengan jam belajar di sekolah yang sudah banyak ditambah TPQ itu namanya BOOM. MELEDAK. (Oh iya, SD/SMP Islam Terpadu diluar konteks pembahasan ini ya. Karena SD/SMP IT memiliki rancangan pembelajaran sendiri, kurikulum sendiri, dan mungkin trik-trik untuk menyeimbangkan antara pendidikan agama dan formal, apalagi pesantren). Di SD/SMP umum tidak semenyenangkan Sekolah IT ketika menjalankan full day. Bahkan, saya saja yang sudah kuliah meringis membayangkannya.
4. Ketika kebijakan PPK ini dibatalkan (sudah dijalankan setahun) oleh presiden –makanya ayah sebut sebagai ajang uji coba, karena manusia dijadikan target trial and error- yang kemudian dikembalikan kepada sekolah masing-masing. Ternyata ada beberapa sekolah yang cukup berani mengambil langkah besar untuk tetap menjalankan Full Day. Wah, kenapa bisa-bisanya begitu padahal presiden sendiri punya pertimbangan yang menolak? Hehe.
5. KESEJAHTERAAN GURU. Ya Allah, siapa bilang guru sejahtera? Kamu tahu, di sekolah ayah saja perbandingan guru honorer dan PNS adalah 70:30. Ya. Honorer 70 dan PNS 30. Sertifikasi? Haha berapa banyak sih yang sudah tersertifikasi? Bahkan gaji guru honorer lebih rendah daripada gaji karyawan Indomaret. Karyawan Indomaret masih dapat UMR sekitar 3 jutaan. Dan guru? Tragis. Padahal mereka sarjana. Faktanya di lapangan, serendah itulah penghargaan bangsa ini kepada mereka pahlawan tanpa tanda jasa. Ya namanya juga “tanpa tanda jasa”. Sedih, kan?
Yah pada akhirnya, saya harus bilang, terserah sekolah saja deh kalau mau mengadakan full day. ASALKAN infrastruktur memadai dan memiliki metode yang efektif untuk memberikan (8 jam lho) pelajaran seperti beberapa sekolah di kota-kota besar. Tapi jika tidak memiliki kedua hal ini, itu namanya dipaksakan. Sesuatu yang dipaksakan tidak baik akhirnya. Jangan sampai kita merugikan generasi bangsa. Idealis boleh tapi harus realistis juga.
Oh iya, ada beberapa komentar di postingan ayah seperti : “lemah”, “cemen”, “manja”. Mudah-mudahan adik-adik saya tidak seperti yang teman-teman bilang ya, hehe. Mudah-mudahan mereka memang kebetulan sedang lelah saja hari itu karena terlalu banyak bermain.
Sebagai tambahan, ada banyak sekali komentar bernada sama, yaitu “anak saya full day dan mereka enjoy aja tuh”. Wah, anak bapak/ibu hebat sekali. Saya kagum. Semoga mereka –dan juga adik-adik saya, hehe- dapat menjadi orang sukses nantinya. Kita harus menjaga mereka dengan baik karena masa depan bangsa ini ada ditangan mereka. Menjaga dalam arti kata mengawal berjalannya pendidikan di Indonesia. Semoga mereka menjadi generasi emas yang membawa perubahan signifikan untuk Indonesia. Dan jangan sampai karena kegagalan penguasa membuat sistem –dan kita, karena tidak mau mengkritisi sistem- negeri ini menangis dikemudian hari.
Maaf kalau kepanjangan, biasanya bikin paper sih bukan postingan, hehe.
Tidak ada komentar